Bab 130. Gi-lim Membeberkan Isi Hatinya

http://blogoftusmknegeri3tegal.blogspot.co.id/ -

Bab 130. Gi-lim Membeberkan Isi Hatinya
Baru sekarang Lenghou Tiong tahu duduknya perkara, pantas Gi-ho, Gi-jing, dan lain-lain begitu giat
mengawasi latihan Gi-lim sebagaimana pernah dilihatnya itu, kiranya mereka berharap kelak Gi-lim yang akan
mewarisi jabatan ketua Hing-san-pay. Sungguh jerih payah mereka itu harus dipuji dan juga suatu tanda
penghormatan mereka terhadap diriku. Demikian pikirnya.
Dengan perasaan hambar Gi-lim lalu berkata pula, “Nenek bisu, sering kukatakan padamu bahwa aku
senantiasa terkenang kepada Lenghou-toako, siang terkenang, malam terkenang, mimpi juga selalu
mengimpikan dia. Teringat olehku waktu dia menolong diriku tanpa menghiraukan bahaya akan jiwa sendiri.
Sesudah dia terluka, kupondong dia melarikan diri. Teringat olehku dia minta aku mendongeng baginya, lebihlebih
sering teringat olehku ketika aku dan dia ti... tidur bersama di suatu ranjang di rumah apa itu di Kota
Heng-san, satu selimut kami pakai bersama. Nenek bisu, kutahu engkau tak bisa mendengar, maka aku takkan
malu mengatakan hal-hal itu padamu. Jika tak kukatakan, rasanya aku bisa gila. Kubicara denganmu,
kupanggil nama Lenghou-toako, maka untuk beberapa hari hatiku akan merasa tenteram.”
Ia merandek sejenak, lalu dengan perlahan memanggil, “Lenghou-toako!”
Suara panggilan itu sedemikian halus, lembut mesra, sungguh penuh rasa rindu yang meresap, tanpa terasa
tubuh Lenghou Tiong bergetar. Ia tahu sumoay itu ternyata bersembunyi rasa cinta yang sedemikian
menggetarkan sukma.
Pikirnya, “Bila aku belum punya Ing-ing, rasanya tidak dapat lagi aku mengingkari dia dan pasti akan menikahi
siausumoay ini. Dia sedemikian mendalam mencintai aku, selama hidupku ini cara bagaimana harus
kubalasnya?”
Begitulah perlahan Gi-lim menghela napas, lalu berkata pula, “Nenek bisu, Ayah tidak memahami perasaanku,
Gi-ho, Gi-jing, dan suci lain juga tidak memahami diriku. Aku merindukan Lenghou-toako hanya karena aku tak
bisa melupakan dia. Aku pun tahu bahwa pikiranku ini tidak pantas, sebagai nikoh mana boleh aku memikirkan
seorang lelaki, apalagi dia adalah ciangbunjin dari perguruan sendiri? Setiap hari aku selalu berdoa agar sang
Buddha menolong diriku, membantu agar aku melupakan Lenghou-toako.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Setiap hari aku membaca kitab yang mengajarkan agar memandang segala apa di dunia fana ini sebagai
khayal belaka, biarpun cantik jelita, gagah cakap, akhirnya juga tinggal tulang belulang saja. Apakah artinya
kemewahan dan kesenangan, orang hidup tiada ubahnya seperti impian belaka. Ajaran dalam kitab sudah tentu
betul, akan tetapi... akan tetapi... apa yang dapat kulakukan? Aku hanya dapat berdoa dan memohon semoga
Buddha Yang Maha Pengasih memberkati Lenghou-toako selalu selamat dan supaya dia terikat jodoh dengan
Yim-siocia, hidup bahagia sampai tua, selama hidup riang gembira. Jika selama hidup Lenghou-toako selalu
gembira, maka semuanya akan baik pula.”
Ucapannya sungguh-sungguh dan penuh ketulusan hati, dengan segenap jiwa raga mengharapkan hidup
Lenghou Tiong selalu selamat bahagia sambil memegangi lengan baju si “nenek bisu”, lalu ia memandang ke
langit, katanya kemudian, “Hari sudah larut malam, aku harus pulang, hendaklah kau pun pulang saja.”
Berbareng ia mengeluarkan dua potong kue dan ditangselkan ke tangan Lenghou Tiong sambil menyambung
pula, “Nenek bisu, mengapa hari ini engkau tidak memandang diriku, apakah badanmu kurang sehat?”
Setelah menunggu sejenak dan tidak mendapatkan jawaban, kemudian Gi-lim bergumam sendiri, “Memangnya
engkau tak bisa mendengar, tapi aku tanya padamu, sungguh bodoh aku ini.”
Perlahan lalu ia berbangkit dan melangkah pergi.
Lenghou Tiong masih duduk dan menyaksikan bayangan Gi-lim menghilang dalam kegelapan malam. Ia coba
mengingat kembali apa yang diucapkan Gi-lim tadi, kata Gi-lim yang meresap itu sungguh sangat menggetar
kalbunya, tanpa terasa ia termangu-mangu sendirian.
Entah sudah berapa lama lagi, ketika ia berpaling dan memandang air sungai, ia menjadi kaget ketika melihat
dalam air ada dua bayangan, dua bayangan orang yang sama sedang duduk berendeng di atas batu. Ia
mengira pandangan sendiri kabur, ia kucek-kucek mata sendiri dan memandang pula, tetap dua bayangan
orang yang dilihatnya. Seketika ia berkeringat dingin dan tidak berani menoleh.
Dilihatnya bayangan dalam air itu jelas berada di belakangnya tepat, asal sekali tangan bergerak seketika
dirinya akan dibereskan, dalam keadaan demikian ia benar-benar terkesima saking kagetnya sehingga tidak
berpikir harus berusaha melompat ke depan.
Orang itu tahu-tahu berada di belakangnya tiada tanpa tiada suara, sedikit pun dirinya tidak terasa, maka
dapat dibayangkan betapa tinggi kepandaian orang. Seketika timbul pikiran dalam benaknya, “Setan tentunya!”
Berpikir tentang setan, seketika terasa ngeri pula. Untuk sekian lamanya ia tertegun, kemudian baru
memandang lagi ke dalam air sungai.
Air sungai yang mengalir perlahan tenang membikin bayangan remang-remang itu tidak jelas tertampak, tapi
kedua bayangan terang satu rupa, sama-sama memakai baju wanita yang berlengan longgar, kundai di atas
kepala juga sama, terang dua bayangan yang kembar.
Makin dirasakan makin ngeri Lenghou Tiong, jantung berdetak keras seakan-akan melompat keluar dari rongga
dadanya. Sekonyong-konyong entah dari mana datangnya keberanian, mendadak ia menoleh sehingga tepat
muka berhadapan muka dengan setan itu.
Setelah melihat jelas, tanpa terasa ia menarik napas panjang, dilihatnya orang di hadapannya ini adalah
seorang wanita setengah umur, lamat-lamat dapat dikenalinya sebagai si babu bisu-tuli yang menjaga Siankong-
si itu. Tapi cara bagaimana perempuan ini sampai di belakangnya tanpa disadarinya sedikit pun, hal ini
sungguh membuatnya heran tidak kepalang.
Rasa ngeri dan takut Lenghou Tiong lenyap segera, tapi rasa heran sedikit pun tidak berkurang, segera ia
berkata, “O, Nenek bisu, kiranya engkau, sungguh bikin kaget padaku.”
Ia dengar suara sendiri rada gemetar, biarpun dikatakan tidak takut, tapi agaknya masih diliputi juga rasa
takut.
Dilihatnya gelung nenek bisu-tuli itu dihias sebuah tusuk kundai, bajunya berwarna abu-abu pucat, jelas serupa
dengan dandanan sendiri, segera ia berkata pula, “Nenek bisu, harap maaf. Daya ingat Ing-ing sungguh hebat,
dia masih ingat dandananmu, maka dia telah menyamarkan diriku sehingga mirip saudara kembarmu.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Dilihatnya air muka si nenek bisu kaku dingin tidak mengunjuk rasa gusar juga tidak ada rasa senang, entah
apa yang terpikir dalam benaknya. Diam-diam Lenghou Tiong membatin. “Orang ini sungguh aneh, aku
menyamar sebagai dia dan kepergok olehnya, rasanya aku tidak boleh tinggal terlalu lama di sini.”
Segera ia berbangkit, ia memberi hormat kepada nenek itu dan berkata, “Sudah larut malam aku mohon diri
dulu.” Ia lantas putar tubuh dan melangkah ke arah datangnya tadi.
Tapi baru beberapa langkah saja mendadak di depannya sudah berdiri satu orang yang merintangi jalannya.
Siapa lagi kalau bukan si nenek bisu-tuli itu. Entah dengan cara bagaimana tahu-tahu sudah berada di
depannya.
Keruan kejut Lenghou Tiong tak terkatakan, ia tahu malam ini benar-benar ketemu seorang kosen, celaka
dirinya justru menyamar seperti si nenek, sudah tentu hal ini menimbulkan kemarahannya.
Maka Lenghou Tiong lantas memberi hormat pula dan berkata, “Maaf, Nenek, Cayhe berbuat salah, biarlah
kuganti pakaian, nanti kudatang lagi ke Sian-kong-si untuk minta maaf.”
Nenek itu tetap kaku tidak berperasaan tidak mengunjuk sikapnya atau tidak.
“Ah, ya, engkau tentunya tidak mendengar ucapanku,” kata Lenghou Tiong. Lalu ia berjongkok dan menulis di
atas tanah dengan jari: “Maaf, lain kali tidak berani lagi.”
Waktu ia tegak kembali, dilihatnya si nenek tetap berdiri mematung, sedikit pun tidak memandang kepada apa
yang dituliskannya.
Sambil menunjuk tulisan-tulisan di atas tanah itu, dengan suara keras Lenghou Tiong berseru, “Maaf, lain kali
tidak berani lagi!”
Tapi nenek itu tetap tidak bergerak, sungguh mirip patung belaka.
Diam-diam Lenghou Tiong membatin, “Wah, celaka, mungkin dia buta huruf!” Berulang-ulang ia lantas
membungkuk-bungkuk badan, tangannya memberi isyarat-isyarat dan berlagak melepas pakaian dan
menanggalkan kundai, lalu memberi hormat pula sebagai tanda minta dimaafkan.
Namun nenek itu tetap diam saja, sedikit pun tidak bergerak, entah tidak paham maksudnya atau memang
sengaja tidak menggubrisnya.
Lenghou Tiong kehabisan akal, ia garuk-garuk kepala sendiri yang tidak gatal. Sambil miringkan tubuh segera
ia menyelusup lewat di samping si nenek.
Baru saja kakinya bergerak, mendadak nenek itu pun menggeliat dan tahu-tahu sudah mengadang pula di
depannya. Lenghou Tiong terkesiap, katanya pula, “Maaf!” Berbareng ia melangkah ke kanan, tapi menyusul ia
terus meloncat lewat ke sebelah kiri. Baru saja kakinya menancap tanah, tahu-tahu si nenek sudah berdiri di
depan lagi dan merintangi jalannya.
Tentu saja Lenghou Tiong tidak terima. Berulang-ulang ia melompat beberapa kali, makin lama makin cepat,
namun selangkah pun si nenek tidak mau ketinggalan, selalu dapat mencegat jalan perginya.
Lenghou Tiong menjadi tidak sabar, melihat nenek itu masih merintangi jalannya, tangan kiri segera
mendorong pundak orang. Tapi baru saja jarinya hendak menempel tempat sasaran, mendadak tangan si
nenek yang kurus kering memotong ke bawah, menebas pergelangan tangannya.
Lekas Lenghou Tiong menarik tangan, walaupun begitu cepat ia menarik tangan tidak urung punggung tangan
juga keserempet oleh jari kecil si nenek, rasanya sakit laksana disayat pisau.
Lantaran merasa bersalah, Lenghou Tiong tidak berani menempur si nenek, yang dia harapkan hanya lekas
tinggal pergi saja. Cepat ia menunduk dan bermaksud menyelinap lewat di sisi orang. Tapi baru saja tubuhnya
bergerak tiba-tiba angin pukulan sudah menyambar, nenek itu telah menghantamnya dengan telapak tangan.
Cepat Lenghou Tiong mengegos, tapi serangan itu teramat cepat, “plak”, pundak kena terpukul. Sebaliknya
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
nenek itu pun tergeliat. Kiranya pada saat hantaman si nenek kena sasarannya, berbareng “Gip-sing-tay-hoat”
dalam tubuh Lenghou Tiong memberi reaksi sehingga tenaga pukulan lawan tersedot.
Sekonyong-konyong tangan lain si nenek mengulur tiba pula, kini jarinya yang lentik kurus bagai cakar ayam
itu menusuk kedua matanya.
Dengan terperanjat lekas Lenghou Tiong mendak ke bawah untuk menghindar, dengan demikian punggungnya
menjadi tidak terjaga, kalau kena digebuk lagi tentu celaka. Untung nenek itu rupanya juga sudah kapok
terhadap “Gip-sing-tay-hoat”, nyatanya tidak berani menyerang pada kesempatan yang ada itu, sebaliknya
tangan kanan lantas mencukil balik ke atas malah untuk tetap menyerang kedua mata Lenghou Tiong. Jelas si
nenek sudah ambil ketetapan akan terus menyerang biji mata lawan yang lemah, betapa pun lihainya Gip-singtay-
hoat tentu tak bisa dikerahkan melalui biji mata, asal biji mata kena dicolok pasti akan buta.
Terpaksa Lenghou Tiong angkat tangan buat menangkis, tapi nenek itu lantas putar tangannya, jarinya lantas
mencakar mata kirinya. Waktu Lenghou Tiong menangkis pula, mendadak jari kanan si nenek mencolok
telinganya.
Beberapa kali serangan nenek itu dilakukan dengan cepat luar biasa, setiap serangan caranya lucu, lebih mirip
cara berkelahi perempuan bawel kampungan, cuma tempat yang diarah justru berbahaya, caranya cepat pula,
hanya beberapa jurus saja Lenghou Tiong sudah terdesak mundur terus.
Memangnya Lenghou Tiong tidak mahir main pukulan dan tendangan, coba kalau si nenek tidak gentar
terhadap Gip-sing-tay-hoat sehingga tidak berani mengadu tangan dengan dia, dapat dipastikan Lenghou Tiong
sudah kenyang digebuk sejak tadi.
Setelah bergebrak beberapa jurus lagi, Lenghou Tiong tahu dalam hal permainan tangan dan kaki masih selisih
jauh dengan lawan, kalau tidak lolos pedang pasti sukar meloloskan diri. Segera ia bermaksud mencabut
gagang pedang pandak yang terselip di pinggangnya. Tapi baru saja tangan menyentuh gagang pedang, nenek
itu seakan-akan sudah tahu maksudnya, dengan cepat luar biasa segera ia melancarkan serangan beberapa
kali, terpaksa Lenghou Tiong berkelit ke sana dan mengegos ke sini sehingga tidak sempat melolos pedangnya.
Melihat tipu serangan si nenek makin lama semakin keji, padahal selamanya tiada permusuhan apa-apa,
namun orang tidak segan-segan membutakan matanya, Lenghou Tiong merasa keadaannya sangat berbahaya,
mau tak mau ia harus selamatkan diri. Mendadak ia menggertak keras, dengan tangan kiri mengaling-alingi
kedua mata sendiri, tangan kanan segera meraba pinggang buat mencabut pedang, ia pikir biar kena dipukul
atau ditendang lawan asalkan pedang sendiri dapat dilolos keluar.
Tak tersangka, pada saat demikian itu, sekonyong-konyong kepala terasa kencang, rambut kena dijambak
orang, menyusul kedua kaki lantas meninggalkan tanah, tubuh terapung, terang telah diangkat oleh si nenek.
Habis itu lantas terasa langit berputar dan bumi terbalik, tubuh berputar cepat di udara, rupanya si nenek telah
menjambak rambutnya terus diangkat dan diayun sekuatnya, makin lama makin cepat.
“He, he, apa yang kau lakukan?” Lenghou Tiong berkaok-kaok, kedua tangan mencakar dan memukul
serabutan, pikirnya hendak mencengkeram lengan si nenek. Tapi mendadak iga kanan-kiri terasa pegal,
rupanya hiat-to bagian tersebut tertutuk, menyusul hiat-to bagian punggung, pinggang, dada, dan leher kena
ditutuk, kontan sekujur badan Lenghou Tiong terasa lemas dan tak bisa berkutik lagi.
Lebih celaka lagi si nenek ternyata tidak mau berhenti, tubuhnya dianggap sebagai bandulan saja, masih
diayun terus dan diputar dengan cepat.
Diam-diam Lenghou Tiong membatin, “Selama hidupku, sudah banyak menemui hal-hal yang aneh, tapi
pengalaman sial seperti sekarang dijadikan kitiran oleh orang boleh dikata baru pertama kali ini terjadi.”
Nenek itu terus memutarnya sehingga Lenghou Tiong kepala pusing dan mata berkunang-kunang dan hampir
pingsan, habis itu barulah puas. “Bluk”, dengan keras ia banting Lenghou Tiong ke tanah.
Sebenarnya Lenghou Tiong tidak punya rasa permusuhan dengan si nenek, tapi sekarang dia kena dikerjai
hingga setengah mati, dengan sendirinya dia sangat gusar. Segera ia mencaci maki, “Perempuan busuk,
perempuan keparat, coba kau sejak mula kutusuk beberapa lubang.”
Nenek itu memandangnya dengan sikap dingin, air mukanya tetap tidak mengunjuk sesuatu perasaan.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Berkelahi terang kalah, kalau aku tidak membalas dengan mencaci maki rasanya akan terlalu rugi,” demikian
pikir Lenghou Tiong. “Tapi kini aku tidak bisa berkutik, jika dia tahu aku memakinya, tentu aku akan disiksa
lebih hebat.”
Segera ia mendapat suatu cara yang baik, ia memaki tapi mukanya tertawa-tawa, “Perempuan bangsat,
perempuan busuk, sadar memang jahat, makanya Thian menciptakanmu menjadi bisu dan tuli, tidak bisa
tertawa, tidak bisa menangis, mirip orang gila, sekalipun binatang juga lebih beruntung daripadamu.”
Semakin mencaci maki dengan kata-kata yang keji, semakin riang pula tertawanya. Sebenarnya ia cuma purapura
tertawa, maksudnya supaya si nenek tuli itu tidak mencurigai dia sedang memakinya. Tapi kemudian demi
melihat si nenek sama sekali tidak memberi reaksi, akalnya membawa hasil, ia menjadi senang sehingga
tertawa terbahak-bahak.
Perlahan nenek itu mendekati dia, mendadak sebelah tangannya menjambak pula rambutnya terus diseret ke
depan sana. Jalannya makin lama makin cepat. Karena hiat-to tertutuk, tapi daya rasa Lenghou Tiong tidak
menjadi hilang, ia merasa kesakitan karena badan tergosok-gosok di atas tanah. Dengan gemas ia mencaci
maki pula tanpa berhenti, namun sekarang dia tak bisa tertawa lagi.
Nenek itu menyeretnya ke atas gunung, dari keadaan setempat Lenghou Tiong melihat tempat yang dituju
adalah Sian-kong-si. Kini Lenghou Tiong sudah tahu dengan pasti bahwa orang yang mengerjai Put-kay
Hwesio, Dian Pek-kong, Boh-pak-siang-him, Pau Tay-coh, Siu Siong-lian, dan lain-lain tentu juga nenek bisutuli
ini. Padahal dahulu dirinya pernah datang ke Sian-kong-si dan melihat nenek ini, namun sedikit pun tidak
tahu orang memiliki kepandaian sedemikian hebat, boleh dikatakan terlalu goblok. Sampai-sampai kaum ahli
seperti Hong-ting Taysu dan Tiong-hi Totiang juga tidak mencurigai dia, maka harus dipuji kepandaian si nenek
ini mengelabui orang.
Lantas terpikir pula oleh Lenghou Tiong, “Jika si nenek ini juga menggantung aku di atas pohon seperti Put-kay
Taysu dan lain-lain, lalu menempel plakat pula di atas tubuhku dengan tuduhan sebagai manusia yang paling
cabul dan sebagainya, padahal sebagai ketua Hing-san-pay, sekarang aku berdandan begini pula, wah, tentu
akan malu besar. Untung dia menyeret aku ke Sian-kong-si, biarlah dia menggantung aku di sana dan dihajar,
asal tidak malu di depan umum masih mendingan.”
Dasar watak Lenghou Tiong memang terbuka, ia anggap biar sial toh tidak sampai kehilangan muka habishabisan,
masih boleh dibilang mendingan, tapi lantas terpikir olehnya, “Entah dia sudah mengetahui asal usul
diriku atau tidak? Jangan-jangan dia tahu aku adalah ketua Hing-san-pay maka sengaja memberi layanan
istimewa daripada yang lain.”
Sepanjang jalan ia diseret, keruan badannya babak belur tergosok-gosok oleh batu pegunungan, untung
mukanya menghadap ke atas sehingga tidak cacat.
Setiba di Sian-kong-si, nenek itu menyeretnya ke dalam ruangan tengah, pintu kuil ditutup, lalu diseret pula ke
atas loteng apung di puncak kuil, yaitu tempat yang dahulu pernah digunakan berunding dengan Hong-ting
Taysu dan Tiong-hi Totiang.
“Wah, celaka,” diam-diam Lenghou Tiong mengeluh, soalnya Leng-kui-kok, nama loteng di atas itu adalah
tempat terapung di atas jurang yang tak terhitung dalamnya, di luar ada sebuah jembatan gantung dan
mungkin di sinilah si nenek akan menggantung dirinya. Padahal Sian-kong-si itu jarang didatangi manusia,
kalau dirinya digantung di sana sehingga mati kelaparan, wah, rasanya boleh dibayangkan.
Setiba di Leng-kui-kok, nenek itu terus banting dia di situ, lalu tinggal pergi. Sambil menggeletak di lantai
Lenghou Tiong coba-coba menerka sebenarnya macam apakah si nenek itu, tapi sukar ditebak, ia hanya
menduga bisa jadi seorang tokoh angkatan tua Hing-san-pay, mungkin adalah pelayan guru Ting-cing atau
Ting-yat Suthay masa dahulu. Tapi entah cara bagaimana nenek itu mendapat tahu tipu muslihat Siu Siong-lian
dan lain-lain sehingga membekuk mereka dan dikerek di atas pohon.
Berpikir sampai di sini hati Lenghou Tiong rada lega, pikirnya pula, “Sebagai ketua Hing-san-pay tentu dia akan
mengingat orang sendiri dan takkan membikin susah padaku.”
Tapi lantas terpikir lagi, “Dalam penyamaranku seperti ini jangan-jangan dia tak mengenali diriku. Jika dia
sangka aku orang jahat segolongan dengan Thio-hujin dan lain-lain yang sengaja menyamar seperti dia untuk
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
menjadi mata-mata di sini dengan muslihat yang akan merugikan Hing-san-pay, wah, bisa jadi ia akan
memberi ‘layanan istimewa’ padaku, bisa runyam bila aku disiksa nanti.”
Ia dengar suara tindakan yang mendaki tangga loteng, ternyata nenek itu telah naik ke atas lagi dengan
tangan membawa seutas tambang, segera Lenghou Tiong ditelikung kaki dan tangannya, lalu diikat kencangkencang,
dikeluarkannya pula sepotong kain kuning dan digantungkan di leher Lenghou Tiong.
Sudah tentu Lenghou Tiong sangat tertarik untuk mengetahui apa yang tertulis pada kain plakat itu. Akan
tetapi pada saat itu juga pandangannya menjadi gelap, kedua matanya telah ditutup oleh si nenek dengan
sepotong kain hitam.
“Cerdik benar nenek ini,” demikian pikir Lenghou Tiong. “Dia tahu aku ingin sekali membaca apa yang tertulis
di atas kain, tapi sengaja membikin aku tak bisa melihatnya. Kecerdasan nenek ini sungguh jauh melebihi
orang biasa. Tapi, hah, Lenghou Tiong sudah terkenal sebagai pemuda yang bangor, tentu apa yang tertulis di
atas kain ini tiada kata-kata yang baik bagiku, buat apa aku membacanya?”
Tiba-tiba ia merasa kaki dan tangannya yang terikat ditelikung itu tertarik kencang, tubuh lantas terapung ke
atas, ternyata sudah dikerek tinggi-tinggi di atas belandar. Tidak kepalang gusar Lenghou Tiong, segera ia
mencaci maki pula.
Meski dia suka ugal-ugalan, tapi pikirannya juga cukup cermat, pikirnya, “Kalau aku hanya mencaci maki
serabutan, tetap tidak dapat menolong diriku. Sebaiknya aku mengerahkan tenaga perlahan untuk
melancarkan hiat-to yang tertutuk, bila aku sudah pegang senjata tentu akan dapat mengatasi nenek itu, aku
pun akan gantung dia di tempat yang tinggi, akan kugantung pula kain kuning pada lehernya, lalu apa yang
harus kutulis pada plakat itu? Nenek jahat nomor satu di dunia ini? Ah, kurang tepat menyebut dia sebagai
nomor satu di dunia, bisa jadi dia malah akan girang. Biarlah kutulis saja: ‘Nenek jahat nomor ke-17 di dunia
ini’, biar kepalanya pecah memikirkan siapa lagi ke-16 nenek jahat lain yang lebih tinggi derajatnya daripada
dia sendiri.”
Ia coba pasang telinga, tak terdengar lagi suara orang bernapas, agaknya nenek itu sudah pergi.
Setelah digantung terkatung-katung di situ selama beberapa jam, perut Lenghou Tiong mulai keroncongan,
ketika ia coba mengerahkan tenaga, eh, terasa hiat-to sudah mulai lancar. Selagi bergirang di dalam hati
sekonyong-konyong tubuhnya terguncang, “bluk”, dengan keras ia terbanting di atas loteng, ternyata si nenek
telah melepaskan tambang kerekan. Tapi sejak kapan nenek itu datang sedikit pun Lenghou Tiong tidak
mendengar.
Nenek itu lantas lepaskan kain hitam penutup matanya, hiat-to bagian lehernya belum lancar sehingga sukar
menunduk untuk membaca tulisan plakat, hanya pada huruf paling bawah sekilas terlihat adalah huruf “nio”
yang berarti perempuan.
Diam-diam Lenghou Tiong mengeluh pula, ia percaya dengan huruf itu tentu si nenek benar-benar menyangka
dia sebagai perempuan. Kalau dia menuliskan kata-kata yang anggap dia sebagai pemuda porno, bajingan
tengik, atau manusia rendah segala adalah tidak menjadi soal baginya, tapi menganggapnya sebagai
perempuan, wah, ini benar-benar runyam, konyol.
Dilihatnya si nenek mengambil sebuah mangkuk, ia pikir barangkali si nenek memberi minum teh atau arak
padanya. Paling baik dia menyuguhkan arak padaku, demikian ia membatin.
Di luar dugaan, sekonyong-konyong kepala terasa panas tersiram air mendidih, ia menjerit kesakitan. Ternyata
isi mangkuk itu adalah air mendidih dan oleh si nenek disiramkan begitu saja pada kepalanya.
Dengan murka Lenghou Tiong memaki, “Nenek bangsat, apa yang hendak kau lakukan terhadap diriku?”
Tapi lantas terlihat si nenek mengeluarkan pula sebilah pisau cukur.
Keruan Lenghou Tiong terperanjat, segera terdengar suara “krik-krik”, kulit kepalanya serasa sakit perih,
ternyata si nenek sedang mencukur rambutnya.
Kejut dan gusar pula Lenghou Tiong, ia tidak tahu apa maksud tujuan nenek gila itu. Tapi hanya sebentar saja,
kepalanya terasa sudah gundul kelimis, rambut telah dicukur bersih oleh si nenek.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Bagus, hari ini Lenghou Tiong benar-benar telah menjadi hwesio. Ah, tidak tepat, aku memakai baju
perempuan, harus disebut menjadi nikoh,” demikian ia berpikir.
Tapi hatinya terasa ngeri juga ketika teringat olehnya Ing-ing pernah berkelakar menyuruh dia menyamar
sebagai nikoh saja, ternyata ucapannya itu menjadi kenyataan. Bukan mustahil nenek jahat ini telah
mengetahui siapa diriku dan anggap seorang lelaki tidak pantas menjadi ketua Hing-san-pay, maka tidak cuma
mencukur rambutku saja, bahkan akan... akan kebiri aku punya alat vital, supaya aku tidak bisa membikin
kotor tempat suci ini. Wah, nenek gila ini rupanya dapat berbuat apa pun juga. Sungguh nahas, agaknya hari
ini aku Lenghou Tiong harus terima nasib, tapi jangan sekali-kali aku meyakinkan Pi-sia-kiam-hoat.
Selesai mencukur kepala Lenghou Tiong, nenek itu sapu bersih pula rambut yang berserakan di lantai itu.
Lenghou Tiong merasa keadaan sudah gawat, cepat ia mengerahkan tenaga dalam sekuatnya, ia coba bobol
hiat-to yang tertutuk itu.
Selagi merasa beberapa hiat-to yang tertutuk itu mulai lancar, tiba-tiba bagian punggung dan bahunya
kesemutan pula, hiat-to bagian tersebut kembali ditutuk si nenek pula.
Seketika Lenghou Tiong seperti balon gembos, ia menghela napas panjang, rasanya lemas, sampai-sampai caci
maki juga sungkan dilontarkan lagi.
Si nenek lantas menanggalkan kain plakat yang bergantungan di leher Lenghou Tiong itu dan ditaruh di
samping sana.
Baru sekarang Lenghou Tiong dapat melihat jelas apa yang tertulis di kain itu, yakni: “Si buta nomor satu di
dunia ini, perempuan jahat yang bukan lelaki dan bukan perempuan.”
Serentak Lenghou Tiong mengeluh pula, “Wah, celaka! Kiranya nenek gila ini cuma pura-pura bisu dan dapat
bicara, kalau tidak, dari mana dia mengetahui makian Put-kay Taysu padaku sebagai orang buta nomor satu di
dunia ini? Hanya ada dua kemungkinan, dia mencuri dengar ketika Put-kay Taysu bicara dengan Gi-lim atau dia
mencuri dengar ketika Gi-lim bicara padaku tadi. Atau bisa juga kedua kali dia mencuri dengar semua.”
Berpikir sampai di sini, segera ia berteriak, “Sudahlah, kau tidak perlu menyamar dan pura-pura lagi, kau
bukan orang tuli.”
Tapi nenek itu tetap tidak peduli, sebaliknya terus menggerayangi tubuh Lenghou Tiong hendak membuka
pakaiannya.
“He, hei! Apa yang hendak kau lakukan?” Lenghou Tiong berkaok-kaok dengan khawatir. Ia tidak tahu apakah
si nenek benar-benar tidak dapat mendengar atau sengaja pura-pura tidak mendengar. Yang jelas segera
terdengar suara “brat-bret”, bajunya telah ditarik begitu saja oleh si nenek itu hingga robek menjadi dua belah
dan terlepas dari tubuhnya.
“He, jika kau mengganggu seujung rambutku saja tentu akan kucencang tubuhmu hingga hancur luluh,” teriak
Lenghou Tiong gusar. Tapi lantas terpikir olehnya, “Bukan saja seujung rambut, bahkan dia sudah mencukur
habis seluruh rambutku.”
Tertampak si nenek mengambil sepotong batu asah pisau, diteteskan beberapa tetes air di atas batu asah itu,
lalu dipakai mengasah pisau cukur. Sejenak kemudian pisau cukur itu ditaruhnya di samping, dari saku
dikeluarkannya sebuah botol porselen kecil, rupanya isi botol itu adalah obat luka paling mustajab bikinan Hingsan-
pay yang juga telah dikenal dengan baik oleh Lenghou Tiong sendiri.
Kemudian si nenek menyiapkan pula beberapa potong kain putih, yakni guna pembalut luka. Padahal Lenghou
Tiong tidak merasa punya luka baru. Melihat cara si nenek menyiapkan segala perlengkapan itu, jelas akan
melakukan sesuatu operasi apa-apa pada tubuhnya.
Selesai menyiapkan semua itu, kedua mata si nenek menatap tajam Lenghou Tiong. Selang sejenak, ia angkat
tubuh Lenghou Tiong dan diletakkan di atas meja, lalu memandangnya pula dengan sikap kaku tak
berperasaan.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Lenghou Tiong sudah kenyang pengalaman dalam pertempuran macam apa pun, sekalipun terluka parah dan
terkepung musuh, belum pernah ia merasa jeri dan gentar, tapi kini menghadapi seorang nenek demikian,
dalam hati timbul rasa takut yang tak terkatakan.
Perlahan si nenek angkat pisau cukurnya, di bawah cahaya lilin yang berkelip-kelip, pisau cukur yang tajam itu
gemilapan, butir keringat dingin penuh menghias dahi Lenghou Tiong, alangkah ngerinya bila dia
membayangkan sebentar lagi “anunya” akan dikebiri oleh si nenek.
Sekonyong-konyong terkilas satu pikiran dalam benaknya, tanpa pikir lagi ia berteriak, “Engkau... adalah
bininya Put-kay Hwesio!”
Tubuh nenek itu tampak tergetar dan mundur selangkah, katanya kemudian, “Da... dari mana... kau tahu?”
Suaranya parau kering, ucapannya sekata demi sekata dan kaku, mirip benar dengan anak kecil yang baru
belajar omong.
Bab 131. Rahasia Gi-lim dan Kekonyolan Put-kay Hwesio
Ketika mengucapkan kata-katanya tadi, Lenghou Tiong memang tidak pernah berpikir panjang, setelah ditanya
balik oleh si nenek barulah ia berpikir mengapa diri sendiri bisa menarik kesimpulan demikian?
Tapi ia lantas menjengek, “Hm, sudah tentu aku tahu, sudah sejak tadi aku tahu.”
Namun dalam hati sebenarnya ia bertanya-tanya kepada diri sendiri, “Ya, dari mana aku mendapat tahu hal
itu? O, ya, tentu disebabkan plakat yang dia gantungkan di leher Put-kay Taysu itu. Pada plakat itu tertulis
tuduhan kepada Put-kay sebagai manusia paling tak berperasaan, orang yang paling doyan perempuan, soal
ini, selain Put-kay sendiri di dunia ini hanya istrinya saja yang tahu, lain tidak.”
Karena pikiran demikian, segera Lenghou Tiong berseru pula, “Hm, justru kau sendiri masih selalu terkenang
kepada manusia yang tidak berperasaan, orang yang paling doyan perempuan sebagai Put-kay, kalau tidak,
waktu dia gantung diri hendak cari mampus, kenapa kau potong tali gantungannya? Dia mau menggorok leher
sendiri, kenapa kau sembunyikan pisaunya? Huh, manusia yang tak berperasaan, orang yang paling suka main
perempuan begitu, biarkan dia mampus saja, buat apa kau urus lagi?”
“Hm, kalau dia mampus secara begitu cepat dan enak, kan terlalu mudah bagi dia,” jengek si nenek.
“Ya, aku tahu, dia harus diperas dulu tenaga dan pikirannya, biarkan dia kelabakan setengah mati mencari dari
ujung sini ke pojok sana, dari utara mencari ke selatan, selama berpuluh tahun dia mencarimu, tapi engkau
sengaja sembunyi di sini dengan hidup tenang, dengan demikian barulah engkau merasa puas!”
“Memangnya, dengan begitu baru setimpal dengan dosanya,” ujar si nenek. “Dia sudah menikahi aku, kenapa
dia menggoda perempuan lain pula?”
“Siapa yang bilang dia menggoda perempuan lain?” tanya Lenghou Tiong. “Orang cuma memandang dan
memuji putrimu lalu Put-kay juga memandang dan memuji orang, ini kan lumrah, kenapa dianggap berdosa?”
“Seorang laki-laki kalau sudah beristri, jika dia memandang, mengincar perempuan lain lagi, hal ini dilarang
keras,” kata si nenek.
Lenghou Tiong merasa nenek ini benar-benar terlalu aneh, masakah orang pandang-memandang saja
menimbulkan rasa cemburunya yang begini hebat. Segera ia berdebat, “Dan kau sendiri sudah menjadi istri
orang, mengapa kau pandang laki-laki juga?”
Nenek itu menjadi gusar, sahutnya, “Bilakah aku memandang laki-laki? Ngaco-belo!”
“Bukankah sekarang juga engkau sedang memandang diriku? Memangnya aku bukan laki-laki tulen?” kata
Lenghou Tiong. “Padahal Put-kay hanya memandang orang beberapa kejap saja, sebaliknya engkau malah
sudah menjambak rambutku, sudah meraba kepalaku, ini berarti telah melanggar larangan suci itu. Untung
engkau hanya menyentuh kulit kepalaku saja, tidak meraba wajahku, kalau tidak, pasti engkau akan dihukum
berat oleh sang Buddha Koan-im.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Ia pikir nenek ini jarang bergaul dengan umum, tentu pengetahuannya kurang-kurang, maka perlu digertak
supaya dia tidak sembarangan menganiaya diriku, apalagi kalau dia benar-benar memotong barangku yang
tidak bisa dicari gantinya ini.
Tapi lantas terdengar nenek itu menjawab, “Hm, untuk memotong kepalamu juga aku tidak perlu menyentuh
badanmu.”
“Kalau mau memotong kepalaku, boleh silakan saja lekas!” sahut Lenghou Tiong.
“Hm, ingin kubunuhmu, tidak boleh secepat begini,” ujar si nenek. “Sekarang ada dua jalan bagimu, kau boleh
pilih sesukamu. Pertama, kau harus lekas mengawini Gi-lim sebagai istrimu, jangan bikin dia hidup merana dan
akhirnya mati sengsara. Sebaliknya kalau kau tetap berlagak tak mau menurut, segera aku kebiri dirimu, biar
kau berubah menjadi siluman yang serbakonyol, lelaki bukan, perempuan tidak alias banci. Nah, jika kau tidak
mengawini Gi-lim, maka kau takkan mampu kawin dengan perempuan busuk lain yang tidak tahu malu.”
“Gi-lim memang benar seorang nona baik, tapi di dunia ini selain dia masakah semua nona adalah perempuan
busuk yang tidak tahu malu?” jawab Lenghou Tiong.
“Kukira begitulah, andaikan baik juga terbatas,” kata si nenek, “Nah, kau mau terima syaratku atau tidak, lekas
katakan!”
Sudah belasan tahun si nenek pura-pura tuli dan berlagak bisu, sudah sekian lama tidak pernah bicara
sehingga lidahnya sudah rada kaku, kini setelah bicara sebentar barulah ucapannya mulai lancar kembali.
Begitulah Lenghou Tiong lantas menjawab, “Gi-lim Sumoay adalah teman baikku, jika dia tahu engkau
memperlakukan aku cara begini tentu dia akan marah.”
“Asal kau menikahi dia sebagai istri, dia tentu akan girang dan segala kemarahan tentu pula akan lenyap,” kata
si nenek.
“Dia adalah orang beragama yang saleh, sudah bersumpah takkan menikah, bila sampai pikirannya
menyeleweng tentu akan dimarahi sang Buddha.”
“Bila kau menjadi hwesio, tentu tidak cuma dia sendiri saja yang akan dimarahi sang Buddha. Aku telah
mencukur rambutmu, memangnya kau kira tiada gunanya?”
Lenghou Tiong terbahak-bahak saking gelinya, katanya, “O, kiranya engkau mencukur rambutku adalah ingin
aku menjadi hwesio, lalu mengawini si nikoh cilik. Lakimu dulu berbuat begitu, jadi sekarang kau pun minta
aku menjiplak caranya itu? Apakah ini tidak melanggar hak cipta lakimu?”
“Ya, begitulah maksudku, melanggar hak cipta orang atau tidak adalah tanggung jawabku,” sahut si nenek.
“Tapi di dunia ini teramat banyak orang yang berkepala gundul, kepala gundul tidak berarti pasti hwesio,
bukan?”
“Soal ini gampang saja, akan kuselomot kepalamu dengan api dupa sehingga terdapat sembilan bekas
selomotan api. Kepala gundul memang tidak selalu adalah hwesio, tapi kepala gundul ditambah dengan bekas
selomotan api dupa adalah tanda pengenal kaum hwesio, bukan?” Habis berkata segera si nenek hendak mulai
“bekerja”.
“Eh, nanti dulu, sebentar lagi,” lekas-lekas Lenghou Tiong mencegah. “Suruh orang menjadi hwesio harus
secara sukarela, masa ada cara paksa begini?”
“Hanya ada dua pilihan, menjadi hwesio atau menjadi thaykam (orang kebiri, dayang istana raja),” kata nenek.
Lenghou Tiong menjadi khawatir, kelakuan nenek ini angin-anginan, segala apa mungkin diperbuatnya, paling
perlu sekarang harus cari akal untuk mengulur waktu. Maka ia lantas menjawab, “Bila aku dijadikan thaykam,
jangan-jangan pada suatu saat mendadak pikiranku berubah dan kepingin mengawini Gi-lim Sumoay, lalu
bagaimana? Kan bisa runyam? Hidup kami berdua bukankah akan tersiksa?”
“Orang persilatan seperti kita ini harus blakblakan terhadap sesuatu, bicara tegas, berbuat cepat, mana boleh
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
ragu-ragu dan mencla-mencle. Mau jadi thaykam ya jadi thaykam dan ingin jadi hwesio ya jadi hwesio, seorang
laki-laki sejati kenapa harus plinplan seperti kau?”
“Tapi kalau jadi thaykam tak dapat dikatakan lagi sebagai laki-laki sejati,” ujar Lenghou Tiong dengan tertawa.
“Persetan!” omel si nenek. “Kita sedang bicara urusan penting, bukan lagi bergurau, tahu?”
Lenghou Tiong menyengir. Pikirnya, “Gi-lim Sumoay cantik molek, cintanya juga mendalam terhadapku, bila
dia jadi istriku adalah suatu kebahagiaan bagiku. Tapi hatiku sudah lama terisi oleh Ing-ing, mana boleh aku
mengingkari dia? Nenek gila ini memaksa aku secara kasar, seorang jantan biarpun mati juga pantang
menyerah.”
Karena pikiran demikian segera ia menjawab, “Nenek, coba kau jawab dulu pertanyaanku. Seorang laki-laki
yang tidak berperasaan, tidak beriman, suka main perempuan, orang begini baik tidak?”
“Masakah perlu tanya lagi? Orang demikian sudah tentu lebih kotor daripada babi dan anjing, percuma saja
menjadi manusia,” jawab si nenek.
“Nah, itu dia,” kata Lenghou Tiong. “Gi-lim Sumoay adalah nona cantik, sangat baik pula padaku, kenapa aku
tidak ingin memperistrikan dia? Soalnya sudah lama aku mempunyai ikatan jodoh dengan seorang nona lain.
Nona ini telah menanam budi mahabesar atas diriku, seumpama diriku kau cencang hingga hancur luluh juga
tidak mungkin aku mengingkari dia. Sebab kalau aku mengingkari dia, bukankah aku akan berubah menjadi
manusia tak berperasaan nomor satu di dunia ini, orang yang paling doyan perempuan? Bukankah gelar nomor
satu yang diperoleh Put-kay Taysu itu akan kurebut?”
“Nona yang kau maksudkan itu tentunya Yim-toasiocia dari Mo-kau, yaitu nona yang pernah menolongmu
waktu kau dikepung anggota Mo-kau dahulu itu, betul bukan?” tanya si nenek.
“Benar, memang dia adanya, engkau sendiri pun sudah melihatnya,” kata Lenghou Tiong.
“Gampang urusannya jika begitu,” ujar si nenek. “Akan kusuruh Nona Yim itu membuang dirimu, anggap saja
dia yang mengingkarimu dan bukan kau yang mengingkari dia.”
“Dia pasti takkan mengingkari diriku, dia sudah sudi menyelamatkan aku tanpa menghiraukan keselamatan diri
sendiri, maka aku pun bersedia berkorban baginya. Aku pasti takkan mengingkari dia dan dia pun pasti takkan
mengkhianati aku.”
“Kalau urusan sudah mendesak, kukira ia pun tak bisa berbuat apa-apa,” ujar si nenek lagi. “Di paviliun Hingsan
sana banyak sekali laki-laki busuk, boleh dicari salah seorang untuk menjadi suaminya.”
“Ngaco-belo!” damprat Lenghou Tiong dengan gusar.
“Apa kau sangka aku tak bisa melaksanakan hal itu?” tanya si nenek. Segera ia melangkah keluar, terdengar
pintu kamar sebelah dibuka, lalu si nenek kembali lagi dengan membawa seorang anak perempuan dengan
kaki-tangan terikat telikung, siapa lagi kalau bukan Ing-ing.
Keruan Lenghou Tiong terkejut, sama sekali tak terduga olehnya bahwa Ing-ing juga jatuh dalam cengkeraman
si nenek. Tapi ia pun merasa lega ketika melihat keadaan Ing-ing baik-baik saja tanpa terluka apa-apa. “Kau
pun berada di sini, Ing-ing!” serunya.
“Ya, aku sudah mendengar seluruh percakapan kalian,” sahut Ing-ing dengan tersenyum. “Engkau menyatakan
takkan mengingkari diriku, sungguh aku sangat senang.”
“Di hadapanku tak boleh omong hal-hal yang tidak tahu malu begitu,” bentak si nenek. “Nona cilik, katakan
saja terus terang, kau inginkan hwesio atau jadi....”
Muka Ing-ing menjadi merah, jawabnya, “Huh, omonganmu ini benar-benar tidak tahu malu.”
“Ya, aku sudah memikirkan secara cermat, kupercaya bocah Lenghou Tiong ini sukar meninggalkanmu untuk
disuruh mengawini Gi-lim,” kata si nenek.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Bagus! Sejak kau mulai buka mulut, hanya ucapan inilah yang paling baik,” sorak Lenghou Tiong.
“Baiklah, biar aku pun berbuat sesuatu yang lebih baik lagi,” kata si nenek. “Aku mau mengalah sedikit, tapi
bikin enak bocah Lenghou Tiong ini. Biarlah dia mengawini kalian berdua sekaligus. Jadi cuma ada dua
kemungkinan, dia boleh jadi hwesio saja dan punya dua istri atau menjadi thaykam tanpa istri. Hanya saja
sesudah kalian menikah, kau tidak boleh menyakiti anak perempuanku. Kalian dua istri sama-sama derajat,
tiada istri pertama atau istri kedua. Namun Gi-lim boleh memanggil cici padamu mengingat usiamu memang
lebih tua beberapa tahun.”
“Tapi aku....” baru saja Lenghou Tiong hendak bicara, tahu-tahu si nenek sudah menutuk hiat-to yang
membuatnya menjadi bisu.
Menyusul si nenek menekan hiat-to Ing-ing, lalu berkata, “Sekali aku sudah ambil keputusan, maka kalian
tiada hak bicara lagi. Hm, masakah kau tidak senang, sekaligus mendapat dua istri yang cantik molek? Coba,
bangsat gundul Put-kay itu sungguh tidak becus, anak perempuannya sakit rindu, tapi dia cuma gelisah dan
kelabakan saja tanpa berdaya. Sebaliknya aku cuma turun tangan sedikit saja segala urusan lantas beres.”
Habis berkata, segera ia melangkah pergi pula.
Lenghou Tiong dan Ing-ing hanya saling pandang dengan menyengir saja, bicara tidak dapat, hendak memberi
isyarat juga tak bisa bergerak.
Sementara itu sang surya baru saja menongol di ufuk timur, sinarnya yang terang memancar masuk melalui
jendela. Lenghou Tiong menatap wajah Ing-ing yang cantik menggiurkan itu. Dilihatnya sinar mata si nona
sedang menatap pisau cukur yang terlempar di lantai serta botol obat dan kain pembalut yang tertaruh di atas
bangku, air mukanya berseri-seri, jelas menandakan nona itu sedang menertawai Lenghou Tiong yang hampirhampir
saja dikebiri.
Tapi segera sorot mata si nona beralih dan menunduk kepala dengan wajah bersemu merah, agaknya ia
merasa malu karena urusan begitu tidak pantas diucapkan, bahkan juga tidak pantas dipikirkan.
Melihat wajah si nona yang kikuk malu itu, tanpa terasa hati Lenghou Tiong berguncang, terbayang olehnya,
“Coba kalau saat ini tubuhnya dapat bebas bergerak, sebaliknya dia tak bisa berkutik, sungguh aku ingin
mendekatinya, memeluk dan menciumnya. Betapa pun dia akan merasa malu toh tak bisa mengelak.”
Dilihatnya sinar mata Ing-ing perlahan menggeser ke arahnya, ketika sinar mata kedua orang kebentrok, cepat
Ing-ing berpaling, pipi yang bersemu merah tadi sebenarnya sudah hilang tapi sekarang mendadak timbul lagi.
“Cintaku terhadap Ing-ing adalah suci dan teguh, selamanya takkan berubah,” pikir Lenghou Tiong. “Tapi kalau
nenek gila itu memaksa aku menikahi Gi-lim, demi mencari selamat, terpaksa aku menurut untuk sementara,
bila dia sudah melepaskan hiat-to dan aku sudah pegang senjata, maka aku takkan gentar lagi padanya.
Betapa pun hebat kepandaian nenek jahat ini kalau dibandingkan Co Leng-tan, Yim-kaucu, dan lain-lain tentu
masih selisih jauh. Lebih-lebih dalam hal ilmu pedang, tentu tak mampu menandingi aku. Dia unggul dalam hal
kegesitan pergi-datang tanpa suara dan melakukan sergapan mendadak. Tapi kalau berkelahi sungguhsungguh,
kuyakin Ing-ing akan dapat mengalahkan dia, bahkan Put-kay Hwesio juga lebih kuat daripada dia.”
Ia termenung-menung sendiri, sekilas dilihatnya Ing-ing juga sedang memandangnya lagi. Cuma sekarang si
nona tidak merasa malu-malu lagi, agaknya sudah tidak memikirkan hal thaykam segala. Sorot mata si nona
dari wajah Lenghou Tiong beralih ke atas dengan tersenyum simpul, terang Ing-ing sedang menertawai
kepalanya yang gundul itu. Jadi tidak berpikir soal thaykam, tapi sekarang menertawakan hwesio.
Lenghou Tiong sendiri ingin tertawa, cuma mulutnya saja entah mengap dan tak dapat mengeluarkan suara.
Dilihatnya Ing-ing tambah senang tertawanya, tiba-tiba biji mata si nona tampak mengerling aneh,
memperlihatkan air muka yang nakal, berwajah mengejek lalu memicingkan sebelah matanya menyusul
memicing sekali lagi.
Sudah tentu Lenghou Tiong tidak tahu apa maksud si nona itu, dilihatnya si nona kembali main mata lagi dua
kali. Mau tak mau terpikir olehnya. “Dia mengedip dua kali, apa artinya? Ah tahulah aku, tentu dia sedang
mengejek aku yang dipaksa mengawini dua istri.”
Segera ia pun balas main mata dengan memicingkan mata kiri satu kali sambil memperlihatkan sikap yang
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
serius, Maksudnya hendak mengatakan. “Aku cuma kawin denganmu seorang saja, pasti tidak akan ambil istri
kedua.”
Tapi Ing-ing tampak menggeleng kepala perlahan sambil mata kiri mengedip satu kali. Ia bermaksud
menggeleng kepala sedikit keras untuk menunjukkan tekadnya, cuma seluruh tubuh tertutuk terlalu banyak,
sukar mengeluarkan tenaga, terpaksa memperlihatkan sikap dan air muka yang sungguh-sungguh dan
setulusnya.
Ing-ing kelihatan mengangguk perlahan, sorot matanya beralih pula ke tempat pisau cukur, lalu perlahan
menggeleng lagi. Mungkin maksudnya hendak mengatakan, “Aku tahu tekadmu, tapi harus ingat, janganjangan
kau akan dikebiri oleh pisau cukur itu.”
Lenghou Tiong tidak memberi reaksi lagi, ia cuma menatap tajam kepada si nona, sinar mata Ing-ing kemudian
juga menggeser dan saling pandang dengan dia.
Jarak kedua muda-mudi itu ada dua-tiga meter jauhnya, namun dari pandangan empat mata itu, tiba-tiba
pikiran satu sama lain seakan-akan terbaca masing-masing, mereka merasa bicara atau tidak adalah sama
saja, yang penting kedua pihak sama-sama memahami perasaan masing-masing, maka mereka tiada sangsi
sedikit pun, bukan saja mereka tidak pikirkan lagi apakah Gi-lim harus dikawin atau tidak, bahkan juga tidak
penting bagi mereka apakah akan menjadi hwesio atau jadi thaykam, malahan baik hidup atau mati bagi
mereka berdua juga tidak menjadi soal, yang pasti mereka berdua sudah bersatu hati, satu perasaan, hal ini
sudah puas bagi mereka, saat yang mereka hadapi ini dirasakan seperti sudah kekal, abadi, sekalipun langit
runtuh dan bumi ambruk juga takkan merampas saat bahagia demikian ini.
Begitulah kedua orang saling pandang dengan penuh rasa mesra, entah sudah lewat berapa lama lagi tiba-tiba
terdengar suara tangga loteng berbunyi, ada orang naik lagi ke atas loteng barulah rasa mesra kedua orang
yang tak terperikan itu mulai buyar dan mendusin dari alam bahagia yang tak terbatas itu.
Terdengar suara seorang perempuan muda sedang berkata, “Nenek bisu, untuk apa kau bawa aku ke sini?”
Terang itulah suara Gi-lim.
Lalu terdengar dua orang memasuki kamar sebelah dan duduk, lalu si nenek berkata dengan perlahan, “Jangan
lagi kau memanggil aku nenek bisu, aku sama sekali tidak bisu.”
“Hahh, jadi... jadi... engkau tidak... tidak bisu? Engkau sudah sembuh?” seru Gi-lim dengan terkejut.
“Memangnya aku bukan orang bisu,” sahut si nenek.
“Jika begitu kau pun... kau pun tidak tuli, kau... kau dapat mendengar... mendengar ucapanku?” Gi-lim
menegas pula, nadanya memperlihatkan rasa kejut dan heran tak terhingga.
“Kenapa kau takut, Nak!” kata si nenek. “Jika aku dapat mendengar ucapanmu kan lebih baik?”
Untuk pertama kalinya Lenghou Tiong mendengar nada ucapan si nenek itu penuh mengandung rasa kasih
sayang, hal ini menandakan hati orang tua itu bukanlah batu, nyatanya di depan putri kandung sendiri akhirnya
mengalir juga perasaan kasih sayang seorang ibu.
Namun Gi-lim rupanya masih sangat terperanjat, dengan suara rada gemetar ia menjawab, “Ti... tidak, aku...
aku akan pergi saja!”
“Nanti dulu, duduklah sebentar lagi,” kata si nenek. “Aku ingin bicara sesuatu hal penting padamu.”
“Tidak, aku... aku tidak mau dengar,” jawab Gi-lim. “Engkau... engkau telah menipu aku, selama ini kusangka
engkau tak dapat mendengar, maka.... maka aku bicara macam-macam padamu. Ternyata... ternyata engkau
menipu aku.”
Suaranya parau dan terputus-putus, tampaknya hampir menangis.
Perlahan si nenek menepuk bahu Gi-lim, katanya dengan suara halus, “Anak baik, anak manis, jangan
khawatir, aku tidak sengaja menipumu, aku hanya khawatir kau jatuh sakit menahan perasaanmu, maka
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
membiarkan kau bicara agar hatimu lebih lapang. Selama aku berada di Hing-san sini selalu menyamar sebagai
orang bisu dan tuli, hal ini tidak diketahui oleh siapa pun maka bukan maksudku menipumu saja.”
Gi-lim menangis dengan tersedu-sedu. Dengan suara halus kembali si nenek berkata, “Aku hendak bicara
sesuatu urusan bagus padamu, setelah mendengar tentu kau akan girang?”
“Apakah urusan ayahku?” tanya Gi-lim.
“Tentang ayahmu? Huh, peduli dia akan mampus atau hidup,” jengek si nenek. “Yang akan kubicarakan adalah
urusan Lenghou-toakomu.”
“Tidak engkau jang... jangan singgung-singgung dia lagi, aku... aku takkan menyinggung dia lagi untuk
selanjutnya,” kata Gi-lim dengan suara terputus-putus. “Sudahlah, aku akan pulang untuk sembahyang.”
“Jangan, tunggu dulu, dengarkan uraianku,” kata si nenek. “Lenghou-toakomu bilang padaku bahwa
sesungguhnya dalam hati dia sangat menyukaimu, jauh lebih suka padamu daripada Yim-siocia dari Mo-kau,
boleh dikata berpuluh kali lipat lebih suka padamu daripada terhadap nona Mo-kau itu.”
Lenghou Tiong memandang sekejap pada Ing-ing, dalam hati ia memaki, “Perempuan tua bangka, pembohong
paling besar di dunia ini!”
Dalam pada itu terdengar Gi-lim sedang menghela napas lalu berkata, “Engkau tidak perlu dusta padaku.
Ketika mula-mula aku kenal dia, Lenghou-toako hanya menyukai dia punya siausumoay seorang, kemudian
sesudah siausumoaynya meninggalkan dia dan kawin dengan orang lain, lalu dia melulu menyukai Yim-siocia
saja, cintanya juga kelewat-lewat, dalam lubuk hatinya juga melulu Yim-siocia saja seorang.”
Kembali sinar mata Lenghou Tiong kontak dengan sinar mata Ing-ing, dalam hati kedua orang sama-sama
merasakan nikmat dan bahagia sekali.
Terdengar si nenek lagi berkata, “Sebenarnya diam-diam dia sangat menyukaimu, hanya saja kau adalah
seorang cut-keh-lang, dia adalah ketua Hing-san-pay pula, maka dia tidak dapat mengutarakan isi hatinya.
Tapi kini dia sudah mengambil keputusan, sudah menggantungkan cita-cita, sudah bertekad akan
mengawinimu, sebab itulah dia sudah cukur rambut dulu dan menjadi hwesio.”
“Hahhh!” kembali Gi-lim menjerit kaget. “Tidak... tidak bisa jadi! Tidak... tidak boleh jadi! Harap kau suruh...
suruh dia jangan menjadi hwesio.”
“Sudah terlambat,” sahut si nenek dengan gegetun. “Kini dia sudah menjadi hwesio. Katanya betapa pun dia
harus memperistrikan kau. Kalau gagal, dia akan bunuh diri atau akan menjadi thaykam saja.”
“Menjadi thaykam?” Gi-lim menegas. “Apa thaykam itu?”
Nenek itu menjadi sulit juga untuk menerangkan arti thaykam, ia hanya mendengus, lalu berkata, “Thaykam
adalah dayang yang melayani kaisar dan keluarganya, kaum hamba yang tidak terhormat.”
“Tapi Lenghou-toako adalah orang yang tinggi hati, orang yang suka kebebasan, mana dia sudi menjadi
pelayan kaisar segala?” ujar Gi-lim. “Kukira menjadi kaisar sekalipun dia tidak mau, jangankan lagi melayani
sang kaisar. Maka pasti dia tidak mungkin menjadi thaykam.”
“Menjadi thaykam juga tidak sungguh-sungguh harus melayani kaisar segala, itu cuma perumpamaan saja,”
kata si nenek. “Orang yang sudah menjadi thaykam selama hidupnya tak bisa punya anak lagi.”
“Ah, masakah begitu? Aku tidak percaya,” kata Gi-lim. “Kelak bila Lenghou-toako kawin dengan Yim-toasiocia,
dengan sendirinya mereka akan punya beberapa anak yang mungil. Mereka berdua sama-sama cakap, putraputri
mereka tentu juga bagus dan menyenangkan.”
Lenghou Tiong coba melirik Ing-ing, dilihatnya kedua belah pipi si nona bersemu merah, di antara rasa
malunya terlihat rasa senang yang tak terhingga.
Dalam pada itu agaknya si nenek menjadi gusar, katanya dengan suara keras, “Sekali kukatakan dia tak bisa
punya anak, maka pasti dia takkan punya anak. Jangankan anak, beristri juga tidak dapat. Dia sudah
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
bersumpah berat, mau tak mau dia harus mengawini dirimu.”
“Tapi aku tahu dalam hatinya cuma terisi oleh Yim-siocia seorang,” kata Gi-lim.
“Dia sudah mengawini Yim-siocia dan juga mengawinimu, paham tidak?” kata si nenek. “Jadi seluruhnya dia
punya dua istri. Lelaki di dunia ini banyak yang punya tiga istri dan beberapa gundik, jangankan cuma dua istri
saja.”
“Ah, tidak, tidak bisa,” kata Gi-lim. “Dalam hati seseorang kalau sudah mencintai siapa, maka yang dia pikirkan
juga cuma orang itu melulu, pagi dipikir malam terkenang, waktu makan terkenang tatkala tidur juga
terkenang, mana bisa dia memikirkan lagi orang kedua. Seperti halnya Ayah, sejak Ibu meninggalkan dia,
maka beliau telah menjelajahi segenap pelosok dunia ini untuk mencari Ibu. Di dunia ini masih banyak wanita
lain, kalau seorang boleh punya dua istri mengapa Ayah tidak kawin lagi dengan perempuan lain?”
Seketika nenek itu terdiam, agaknya kata-kata Gi-lim itu dirasakan ada benarnya juga. Dia menghela napas,
lalu berkata, “Semula ayahmu berbuat salah, mungkin kemudian dia... dia merasa menyesal.”
“Sudahlah, aku akan pulang saja,” kata Gi-lim. “Nenek, bila engkau bicara pada orang lain tentang Lenghoutoako
ingin mengawini aku segala, bisa jadi aku tidak... tidak mau hidup lagi.”
“Apa sebabnya? Dia memang ingin mengawinimu, masakah kau tidak suka malah?” tanya si nenek.
“Tidak, tidak!” jawab Gi-lim. “Hatiku senantiasa memikirkan dia, aku selalu berdoa agar dia diberkati hidup
bahagia dan gembira, semoga dia bebas dari kesukaran dan lepas dari bencana, biar terkabul cita-citanya
menjadi suami-istri dengan Yim-toasiocia. Mungkin engkau tidak paham hatiku, Nenek, yang kuharapkan
asalkan hati Lenghou-toako merasa senang, mereka bahagia, maka aku pun akan merasa senang dan
bahagia.”
“Jika dia tidak berhasil mengawinimu, maka dia pasti takkan senang dan tidak bahagia, menjadi manusia
mungkin juga tiada artinya,” ujar si nenek.
“Ai, semuanya memang salahku, kukira engkau tidak dapat mendengar, maka banyak kuceritakan hal-hal
mengenai Lenghou-toako,” kata Gi-lim. “Dia adalah pahlawan besar pada zaman kini, seorang kesatria pujaan,
sebaliknya aku cuma seorang nikoh cilik yang tak berarti. Dia pernah bilang padaku bahwa setiap kali ketemu
nikoh, bila judi pasti kalah. Melihat aku saja membuatnya sial, mana bisa dia mengawini aku malah? Aku sudah
pasrahkan diriku ke dalam agama Buddha, aku harus menghilangkan segala pikiran keduniawian, aku tak dapat
memikirkan hal-hal begitu lagi. Nenek, selanjutnya engkau jangan menyinggung-nyinggung lagi, seterusnya
aku pun takkan... takkan menemuimu pula.”
Agaknya si nenek menjadi kelabakan, katanya, “Kau budak cilik ini memang aneh dan membingungkan.
Lenghou Tiong sudah menjadi hwesio demi dirimu, dia sudah menyatakan harus mengawinimu, bila Buddha
marah biarlah dia yang dimarahi.”
Gi-lim menghela napas, sahutnya, “Apakah mungkin dia punya jalan pikiran seperti ayahku? Tentu tidak. Ibuku
cantik dan cerdik, perangainya halus orangnya ramah, boleh dikata wanita yang paling baik di dunia ini.
Ayahku menjadi hwesio demi ibuku adalah pantas tapi aku... aku sedikit pun tak bisa memadai diri ibuku.”
Diam-diam Lenghou Tiong tertawa geli, pikirnya, “Ibumu cantik cerdik, rasanya kurang tepat, perangainya
halus, lebih-lebih tidak sesuai. Dibandingkan dirimu, harus dikatakan sedikit pun ibumu tak bisa memadaimu.”
Dalam pada itu terdengar si nenek lagi bertanya. “Dari mana kau dapat tahu?”
“Tentu saja tahu,” sahut Gi-lim. “Setiap kali Ayah bertemu dengan aku, beliau selalu bercerita tentang kebaikan
Ibu, tentang budi pekerti Ibu yang halus, selamanya Ibu tidak pernah marah dan memaki orang, selama hidup
Ibu tak pernah menyakiti orang, bahkan seekor semut pun tak pernah terinjak olehnya. Katanya biarpun
seluruh wanita baik di dunia ini bergabung menjadi satu juga tak bisa membandingi ibuku seorang.”
“Be... betulkah dia berkata demikian? Ah... mungkin... mungkin pura-pura saja,” kata si nenek dengan suara
rada gemetar, suatu tanda perasaannya rada terguncang.
“Sudah tentu betul,” sahut Gi-lim. “Aku adalah anak perempuannya, masakah Ayah mendustai diriku?”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Seketika suasana di Leng-kui-kok itu menjadi sunyi senyap, agaknya nenek itu tenggelam dalam lamunannya.
“Nenek, aku akan pulang,” kata Gi-lim kemudian. “Selanjutnya aku takkan menemui Lenghou-toako lagi, hanya
setiap hari aku berdoa semoga Dewi Koan-im suka memberkahi dia.”
Lalu terdengar suara tindakan perlahan turun ke bawah.
Agak lama berselang barulah si nenek seperti tersadar dari impian, terdengar ia bergumam perlahan, “Masakah
dia mengatakan aku adalah wanita paling baik di dunia ini? Dia telah menjelajahi segenap pelosok dunia ini
untuk mencari aku? Jika begitu, dia bukan lagi manusia yang tak berperasaan, bukan orang yang doyan
perempuan?”
Sekonyong-konyong ia berseru keras-keras, “Gi-lim, Gi-lim! Di mana kau?”
Namun Gi-lim sudah pergi jauh. Nenek itu berteriak lagi beberapa kali dan tidak mendapat jawaban, segera ia
berlari-lari ke bawah loteng.
Dia lari dengan tergesa-gesa dan cepat, tapi suara tindakannya tetap perlahan sekali, hampir-hampir tak
terdengar, suatu tanda ginkangnya memang luar biasa.
Lenghou Tiong saling pandang dengan Ing-ing, seketika macam-macam pikiran berkecamuk dalam benak
mereka. Sinar sang surya memancar tiba melalui jendela, pisau cukur yang tajam itu berkelip-kelip kemilauan.
Diam-diam Lenghou Tiong merasa bersyukur bahwa bencana yang mengancamnya tadi ternyata telah terhindar
secara begitu saja.
Bab 132. Antara Mati dan Hidup
Tiba-tiba terdengar di bawah Sian-kong-si itu ada suara orang bicara, cuma jaraknya jauh maka tak jelas
terdengar. Selang sejenak, terdengar ada orang mendekati kuil itu.
“Ada orang datang!” seru Lenghou Tiong. Karena seruan ini barulah ia tahu hiat-to bisu yang tertutuk si nenek
tadi kiranya sudah terlepas.
Di antara berbagai hiat-to di tubuh manusia, “ah-hiat” atau hiat-to bisu adalah hiat-to yang paling cetek, dasar
tenaga dalamnya jauh lebih kuat daripada Ing-ing, maka dia dapat melepaskan diri lebih dulu dari tutukan itu.
Tertampak Ing-ing mengangguk perlahan. Segera Lenghou Tiong bermaksud menggerakkan tangan dan kaki,
tapi ternyata belum dapat berkutik. Terpaksa ia berkata dengan suara tertahan, “Mungkin musuh, kita harus
lekas melepaskan hiat-to yang tertutuk.”
Kembali Ing-ing mengangguk sambil memasang telinga untuk mendengarkan. Dari suara di bawah itu agaknya
ada tujuh atau delapan orang yang telah memasuki Sian-kong-si.
Lenghou Tiong pikir, “Semoga mereka naik ke Sin-coa-kok sebelah sana saja, semakin lama semakin ada
harapan aku akan dapat membuka hiat-to sendiri.”
Akan tetapi harapan ternyata bertentangan dengan kenyataan, beberapa orang itu justru menaiki tangga yang
menuju ke atas Leng-kui-kok.
Terdengar seorang di antaranya yang bersuara kasar sedang berkata, “Setan saja tidak ada di Sian-kong-si ini,
apanya yang mesti dicari?”
Terang itulah suara Siu Siong-lian.
Keruan Lenghou Tiong terkejut dan heran, “Dia? Untuk apa dia mencari ke sini? Masakah gerakan mereka
sudah berhasil?”
Menyusul terdengar Say-po Hwesio sedang berkata, “Perintah dari atasan, lebih baik kita menurut saja.”
Sembari bicara beberapa orang itu lantas naik ke tingkat kedua.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Sekuatnya Lenghou Tiong mengerahkan tenaga dalam untuk menerjang hiat-to yang tertutuk, akan tetapi
tenaga dalamnya yang utama asalnya diperoleh dari orang lain, meski tenaga dalamnya sangat kuat, namun
tidak lama dan tidak dapat digunakan secara leluasa, semakin terburu-buru, semakin macet.
Dalam pada itu terdengar Giam Sam-seng lagi berkata, “Gak-siansing mengatakan bila kita sudah berhasil,
beliau akan mengajarkan Pi-sia-kiam-hoat kepada kita, kulihat ucapannya ini sukar dipercaya. Coba pikir,
orang yang berjuang ke Hing-san sini tak terhitung banyaknya, kita juga belum berjasa apa-apa, mengapa
Gak-siansing melulu berjanji akan menurunkan kiam-hoat itu kepada kita?”
Tengah bicara beberapa orang di antaranya sudah sampai di tingkat ketiga, begitu pintu didorong, segera
tertampak Lenghou Tiong dan Ing-ing dikerek di atas belandar dengan kaki tangan tertelikung. Berbareng
mereka menjerit kaget tercampur heran.
“He, mengapa Yim-toasiocia berada di sini?” kata si licin Yu Siok. “O, ada lagi seorang hwesio.”
“Siapakah yang berani kurang ajar begini terhadap Yim-toasiocia?” seru Thio-hujin. Segera ia mendekati Inging
dan bermaksud melepaskan tali ikatannya.
“Jangan, tunggu dulu, Thio-hujin!” seru Yu Siok.
“Tunggu apa lagi?” tanya Thio-hujin.
“Biar kupikirkan dulu dengan lebih masak,” sahut Yu Siok. “Melihat gelagatnya, tampaknya Yim-siocia diringkus
orang sehingga tak bisa berkutik, ini benar-benar aneh bin ajaib.”
“He, ini bukan hwesio, tapi dia adalah... adalah... Lenghou-ciangbun, Lenghou Tiong, Lenghou-kongcu adanya!”
tiba-tiba Giok-leng Tojin berseru kaget.
Serentak orang-orang itu berpaling ke arah Lenghou Tiong, maka dia lantas dikenali seketika. Biasanya
kedelapan orang itu sangat hormat dan segan terhadap Ing-ing, terhadap Lenghou Tiong juga sangat jeri,
maka untuk sekian lamanya mereka hanya saling pandang saja, tiada seorang pun berani mengemukakan
pendapat.
Sejenak lagi, mendadak Giam Sam-seng dan Siu Siong-lian bicara berbareng, “Ini dia, kita benar-benar berjasa
besar!”
“Benar!” sambung Giok-leng Tojin. “Mereka hanya dapat membekuk beberapa orang nikoh cilik, buat apa?
Dapat membekuk ketua Hing-san-pay barulah benar suatu jasa mahabesar.”
Thio-hujin yang telanjur mengulurkan tangan hendak membuka tali ringkusan Ing-ing tadi tidak lantas ditarik
kembali tangannya, ia tanya, “Lantas bagaimana?”
Di bawah pengaruh wibawa Ing-ing, kedelapan orang itu merasa segan juga untuk tidak menolong melihat Inging
dalam keadaan begitu. Tapi mereka sama-sama mempunyai suatu pikiran pula, “Jika Yim-toasiocia
dilepaskan, jangankan Lenghou Tiong tak bisa ditawan, bahkan jiwa kita ini akan segera melayang, lantas
bagaimana baiknya?
Dengan cengar-cengir kemudian Yu Siok membuka suara, “Kata peribahasa, hati kecil bukan jantan, tidak
kejam bukan laki-laki. Bukan jantan masih boleh juga, tidak menjadi laki-laki rasanya sayang, terlalu sayang!”
“Apakah kau maksudkan kesempatan ini harus kita gunakan untuk bereskan mereka, bunuh orang buat tutup
mulut?” tanya Giok-leng Tojin.
“Bukan aku yang mengatakan, kaulah yang berkata demikian,” jawab Yu Siok.
Mendadak dengan suara bengis Thio-hujin menghardik, “Kita semua utang budi kepada Seng-koh, siapa yang
berani kurang ajar terhadap beliau, akulah orang pertama yang tidak terima.”
“Bila kau lepaskan dia sekarang, apakah kau sangka dia mau terima kebaikanmu?” kata Siu Siong-lian. “Selain
itu apakah dia mau membiarkan kita membekuk Lenghou Tiong?”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Jelek-jelek kita juga pernah menggabungkan diri ke dalam Hing-san-pay, sekarang kita melawan dan
memberontak kepada ketua sendiri, ini namanya khianat!” seru Thio-hujin, berbareng tangannya menjulur lagi
hendak membuka ringkusan Ing-ing.
“Tunggu dulu!” bentak Siu Siong-lian dengan suara bengis.
“Kau bicara dengan membentak, memangnya kau hendak menggertak orang?” jawab Thio-hujin dengan gusar.
“Sret”, dengan cepat Siu Siong-lian mengeluarkan goloknya.
Namun gerakan Thio-hujin juga sangat sengit, tahu-tahu dia sudah melolos keluar belatinya, “sret-sret”, tali
yang mengikat kaki dan tangan Ing-ing kena dipotong putus. Ia pikir ilmu silat Ing-ing sangat tinggi, semua
orang yang berada sekarang ini bukan tandingannya, asalkan tali ringkusannya dilepaskan, biarpun ketujuh
orang itu mengerubutnya sekaligus juga tidak perlu gentar.
Dalam pada itu Siu Siong-lian juga tidak tinggal diam, segera goloknya membacok ke arah Thio-hujin. Namun
Thio-hujin juga tidak kurang cepatnya, “sret-sret” tiga kali, kontan ia desak Siu Siong-lian melangkah mundur
lagi.
Melihat Ing-ing sudah terlepas dari ringkusan tali, orang-orang lain menjadi jeri dan sama mundur ke pinggir,
segera mereka bermaksud melarikan diri. Tapi ketika melihat Ing-ing yang menggeletak itu tak bisa berkutik,
tidak terus melompat bangun, barulah mereka tahu bahwa hiat-to nona masih tertutuk, serentak mereka
melangkah maju lagi.
“Hehe, sebenarnya kita semua adalah sahabat baik, buat apa mesti main senjata segala, kan cuma bikin susah
kedua pihak saja?” kata Yu Siok dengan cengar-cengir.
“Kalau hiat-to Nona Yim sudah terbuka, apakah jiwa kita dapat dipertahankan?” teriak Siong-lian. Habis
berkata kembali ia menerjang Thio-hujin lagi.
Jangan dikira tubuh Siu Siong-lian itu tinggi besar, senjatanya juga berat, tapi di bawah serangan Thio-hujin
dari jarak dekat thauto itu sedikit pun tidak lebih unggul dan berulang-ulang bahkan terdesak mundur.
“E-eh, jangan berkelahi, jangan berkelahi, ada urusan dibicarakan saja dengan baik-baik,” kata Yu Siok sambil
tertawa dan mendekati kalangan dengan mengebas-ngebas kipasnya.
“Minggir sana! Jangan mengganggu orang!” bentak Siu Siong-lian.
“Baik, baik!” sahut Yu Siok dengan tetap tertawa, ia putar kembali, tapi sekonyong-konyong kipasnya bekerja,
terdengar Thio-hujin menjerit ngeri, tahu-tahu kipas Yu Siok yang gagangnya terbuat dari baja itu telah
menancap di tenggorokan nyonya malang itu.
“Ai, ai, sudah kukatakan kita semua adalah kawan sendiri dan buat apa main senjata, tapi kau tetap tidak
menurut, bukankah terlalu mementingkan diri sendiri?” kata Yu Siok sambil menarik kipasnya, kontan darah
segar menyembur keluar dari leher Thio-hujin.
Apa yang terjadi ini benar-benar di luar dugaan siapa pun juga, Siu Siong-lian melompat mundur dengan
terkejut sambil memaki, “Sontoloyo, kiranya anak kura-kura ini membantu aku.”
“Tidak bantu dirimu, apakah mesti bantu orang lain?” sahut Yu Siok dengan tertawa. Ia berpaling dan berkata
kepada Ing-ing, “Yim-toasiocia, engkau adalah putri kesayangan Yim-kaucu. Kita semua segan padamu
lantaran menghormati ayahmu. Tapi keseganan kita lebih banyak disebabkan kau memegang obat penawar pil
maut yang pernah kami makan. Kalau obat pemunah itu diberikan kepada kami, maka Seng-koh macam dirimu
menjadi tiada artinya lagi.”
“Benar, benar, ambil obat penawarnya dan bunuh dia!” seru keenam orang lain beramai-ramai.
“Tapi kita harus bersumpah dahulu barang siapa membocorkan peristiwa ini, biarlah dia akan mati membusuk
oleh ratusan racun pil maut yang telah dimakannya,” kata Giok-leng Tojin.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Beberapa orang itu sudah tiada pilihan lain kecuali membunuh Ing-ing, cuma mereka memang sangat takut
kepada Yim Ngo-heng, bila peristiwa ini diketahui ketua Mo-kau itu, betapa pun luasnya dunia ini rasanya akan
sukar mendapatkan tempat sembunyi bagi mereka. Maka tanpa sangsi-sangsi lagi mereka lantas mengangkat
sumpah.
Lenghou Tiong tahu bila sumpah mereka itu selesai, tentu Ing-ing akan segera dibunuh mereka. Cepat ia
mengerahkan tenaga dalam untuk menerjang beberapa tempat hiat-to yang tertutuk, tapi ternyata tiada
sesuatu tanda hiat-to bersangkutan akan lancar kembali. Keruan ia menjadi gelisah.
Ia coba memandang Ing-ing, dilihatnya si nona juga sedang memandangnya dengan penuh rasa mesra, sedikit
pun tiada mengunjuk rasa khawatir dan gentar.
Legalah hati Lenghou Tiong, pikirnya, “Biarpun kami berdua akan mati, bahagia juga rasanya jika kami berdua
dapat mati bersama pada saat dan tempat yang sama pula.”
“Ayolah, lekas turun tangan,” seru Siu Siong-lian kepada Yu Siok.
“Kukira lebih baik Siu-heng saja yang turun tangan, biasanya Siu-heng terkenal sigap dan tegas menghadapi
setiap urusan, maka silakan engkau saja yang turun tangan,” kata Yu Siok.
“Bangsat, kau tidak turun tangan segera kubunuh kau,” damprat Siu Siong-lian.
“Kalau Siu-heng tidak berani, biar kita minta Giam-heng saja yang turun tangan,” ujar Yu Siok dengan tertawa.
“Nenekmu,” Siu Siong-lian memaki pula. “Mengapa aku tidak berani? Soalnya hari ini orang she Siu tidak ingin
membunuh orang.”
“Sebenarnya siapa pun yang turun tangan adalah sama saja, kan tidak bakal ada orang yang membocorkan
kejadian ini,” kata Giok-leng Tojin.
“Jika begitu, bagaimana kalau Giok-leng Toheng saja yang turun tangan?” ujar Say-po Hwesio.
“Ai, kenapa mesti ogah-ogahan begitu? Jika siapa pun tidak percaya kepada orang lain, marilah kita samasama
lolos senjata dan berbareng kerjakan senjata kita pada tubuh Yim-toasiocia saja,” seru Giam Sam-seng.
Orang-orang ini adalah manusia jahat dan kejam, tapi juga pengecut. Pada saat menentukan untung-rugi bagi
diri sendiri sedapat mungkin mereka ingin mengelakkan tanggung jawab kepada orang lain.
“Nanti dulu,” Yu Siok menyesal pula. “Biar kuambil dulu obat penawarnya.”
“Kenapa kau yang mengambilnya?” kata Siu Siong-lian. “Setelah kau ambil tentu kau akan menggunakan obat
pemunah itu sebagai alat pemerasan terhadap teman-teman lain. Biar aku saja yang ambil.”
“Kau yang ambil? Lalu siapa yang percaya kau takkan memeras teman lain?” sahut Yu Siok tak terima.
“Sudahlah, jangan buang-buang waktu lagi!” seru Giok-leng Tojin. “Bila terlalu lama, jangan-jangan dia punya
hiat-to terbuka sendiri, kan urusan bisa runyam. Paling perlu binasakan dia dahulu baru nanti membagi obat
penawarnya.”
“Sret”, segera Giok-leng mendahului lolos pedang, yang lain beramai-ramai juga lantas siapkan senjata
masing-masing dan merubung di sekitar Ing-ing.
Melihat ajal sudah tiba, dengan mata tanpa berkedip Ing-ing memandang Lenghou Tiong, teringat saat-saat
bahagia selama berdampingan dengan pemuda itu, tersembul senyuman mesra pada wajahnya.
“Sekarang aku akan menyebut satu-dua-tiga lalu kita turun tangan bersama!” seru Giam Sam-seng. “Nah,
mulai! Satu... dua... tiga!”
Begitu kata-kata tiga diucapkan, serentak tujuh bentuk senjata menyambar ke arah tubuh Ing-ing sekaligus.
Siapa duga, di tengah gemerlapnya sinar pedang dan golok, ketujuh senjata itu tanpa komando serentak
berhenti di depan badan Ing-ing dalam jarak kira-kira belasan senti.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Pengecut!” omel Siu Siong-lian. “Kenapa tidak diteruskan? Huh, selalu ingin orang lain yang membunuh agar
diri sendiri tidak menanggung dosanya.”
“Dan kau sendiri juga kenapa begitu?” jawab Say-po Hwesio. “Golokmu juga berhenti setengah jalan, kenapa
tidak hinggap di tubuh Yim-siocia jika kau memang pemberani?”
Kiranya ketujuh orang itu sama-sama punya pikiran busuk, berjiwa licik. Setiap orang mengharapkan orang
lain yang membunuh Ing-ing agar senjata sendiri tidak perlu bernoda darah. Soalnya memang tidaklah mudah
bila mendadak mereka disuruh membunuh seorang yang selama ini sangat dihormat dan ditakuti seperti Inging.
“Baiklah, kita ulangi kembali!” seru Siu Siong-lian. “Sekali ini kalau ada yang menahan senjata, maka dia
adalah bangsat anak lonte, anjing, babi! Nah, aku yang memberi komando. Satu... dua... tiga....”
Belum lagi kata “tiga” disebut, mendadak Lenghou Tiong berseru, “Pi-sia-kiam-hoat!”
Serentak ketujuh orang itu menoleh demi mendengar istilah itu. Ada empat di antaranya lantas tanya
berbareng, “Kau bilang apa?”
Memang maksud tujuan kedatangan mereka ini yang diharap tiada lain adalah Pi-sia-kiam-boh, kitab rahasia
pelajaran Pi-sia-kiam-hoat.
Bahwasanya Gak Put-kun membutakan Co Leng-tan dengan Pi-sia-kiam-hoat, hal ini telah menggemparkan
dunia persilatan, hal ini pula membikin ketujuh orang ini kagum tak terhingga. Maka demi mendengar nama
ilmu pedang itu, serentak mereka melenggong.
“Pi-sia-kiam-hoat, ilmu pedang mahaagung. Latih dulu kiam-khi, lalu latih kiam-sin. Khi dan sin sudah kuat,
ilmu pedangnya akan sempurna dengan sendirinya. Cara bagaimana menimbulkan kiam-khi (kekuatan
pedang), cara bagaimana melahirkan kiam-sin (kesaktian pedang)? Rahasia keajaibannya boleh dicari di dalam
kitab ini,” demikian Lenghou Tiong bergumam sendiri pula.
Setiap ia menyebut satu kalimat, serentak ketujuh orang itu menggeser langkah ke arahnya, selesai dia
menyebut enam-tujuh kalimat, tahu-tahu ketujuh orang itu sudah meninggalkan Ing-ing dan kini sudah
mengitari Lenghou Tiong malah.
“Apakah ini... ini yang terdapat di dalam Pi-sia-kiam-boh?” tanya Siu Siong-lian ketika Lenghou Tiong tidak
melanjutkan lagi uraiannya.
“Bukan Pi-sia-kiam-boh, memangnya kau kira Sia-pi-kiam-boh?” sahut Lenghou Tiong.
“Coba uraikan lanjutannya,” pinta Siu Siong-lian.
Lenghou Tiong juga tidak menolak, segera ia menyebut lagi dua-tiga kalimat, tapi lantas berhenti.
“Ayo teruskan, teruskan!” desak Say-po Hwesio. Sedangkan Giok-leng Tojin tampak komat-kamit mengulangi
kalimat yang disebut Lenghou Tiong itu, agaknya dia sedang menghafalkannya di luar kepala.
Padahal Lenghou Tiong belum pernah membaca isi Pi-sia-kiam-hoat, apa yang dia uraikan itu sama sekali
bukan Pi-sia-kiam-hoat segala, melainkan beberapa kalimat kata pengantar Hoa-san-kiam-hoat, hanya saja dia
sengaja mengubah beberapa kata-kata di antaranya. Tapi Siu Siong-lian dan lain-lain tidak pernah kenal Hoasan-
kiam-hoat, pula mereka memang sudah keranjingan Pi-sia-kiam-hoat, maka demi mendengar uraian
Lenghou Tiong itu, seketika mereka tergila-gila dan ingin mengetahui lebih banyak.
Dengan sengaja Lenghou Tiong menjual murah kembali, ia menyebut lagi beberapa kalimat, sampai di sini ia
mulai tahan harga. Ia pura-pura lupa, lalu berlagak mengingat-ingat, tapi tetap tak dapat menutur lebih lanjut.
“Di mana kiam-bohnya?” dengan tidak sabar Say-po Hwesio dan lain bertanya.
“Kiam-bohnya... yang pasti tidak berada padaku,” sahut Lenghou Tiong sambil pura-pura melirik sebagian
perut sendiri. Keruan hal ini menimbulkan curiga orang banyak. Serentak dua buah tangan menggerayangi
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
bajunya, yang satu adalah tangan Say-po Hwesio dan yang lain adalah tangan Siu Siong-lian.
Tapi sekonyong-konyong terdengar Say-po Hwesio dan Siu Siong-lian menjerit ngeri, kepala Say-po Hwesio
yang gundul itu hancur luluh, otaknya muncrat, sedangkan punggung Siu Siong-lian tertembus pedang,
ternyata mereka masing-masing telah kena dibereskan oleh Giam Sam-seng dan Giok-leng Tojin.
“Hm, dengan susah payah kita telah mencari kiam-bohnya, akhirnya diketemukan di sini, tapi kedua anak
kura-kura ini bermaksud mengangkanginya, masa di dunia ini ada urusan begini enak?” kata Giam Sam-seng
dengan tertawa dingin. Menyusul “blang-blang” dua kali, kontan ia tendang kedua sosok mayat itu hingga
mencelat ke pinggir.
Tujuan Lenghou Tiong pura-pura menyebut Pi-sia-kiam-boh tadi adalah karena melihat Ing-ing dalam keadaan
bahaya, sedapat mungkin ia mencari akal buat membelokkan perhatian orang-orang itu, dengan demikian dia
berharap dapat mengulur waktu, syukur dalam pada itu hiat-to sendiri atau Ing-ing dapat dilancarkan kembali.
Tak tersangka akalnya ternyata sangat manjur, bukan saja ketujuh orang itu dapat dipancing meninggalkan
Ing-ing, bahkan mereka dipermainkan hingga saling membunuh, tujuh orang ini tinggal lima orang saja, tentu
saja Lenghou Tiong sangat senang di dalam hati.
“Sabar dulu,” tiba-tiba Yu Siok menyela lagi. “Apakah kiam-boh ini benar berada pada Lenghou Tiong atau
tidak belum tahu dengan pasti, sebab tiada seorang pun di antara kita yang melihatnya, tapi kita sendiri sudah
saling ingin membunuh, bukankah akan merugikan....”
Belum habis ucapannya dia sudah dipelototi, Giam Sam-seng menegurnya pula, “Hm, kau anggap kami tidak
sabar, kau merasa tidak senang, bukan? Barangkali kau ingin mengangkangi sendiri kiam-boh ini?”
“Mengangkangi sendiri sih tidak berani, siapa yang ingin meniru hwesio gundul yang kepalanya hancur ini,
memangnya enak kalau begini?” sahut Yu Siok. “Soalnya kita mempunyai tujuan bersama, kiam-boh yang
terkenal di seluruh jagat ini setiap orang tentu ingin melihatnya. Maka apa salahnya kalau kita miliki bersama?”
“Benar,” ujar Tong-pek-siang-ki. “Siapa pun tidak boleh mengangkangi, biarlah kita membacanya bersama
nanti.”
Padahal di dalam hati setiap orang sama timbul hasrat untuk mengangkangi sendiri kiam-boh yang termasyhur
itu. Soalnya keadaan tidak mengizinkan, asal seorang ingin mengangkangi, empat orang yang lain tentu akan
mengerubutnya bersama, maka dapat diramalkan nasibnya pasti akan menuju ke akhirat.
Di antara kelima orang ini, Yu Siok dan Giok-leng Tojin termasuk orang yang lebih cerdik dan dapat berpikir,
kedua orang ini mempunyai pikiran yang sama, yakni, “Biarlah aku tidak ikut turun tangan dan cuma tinggal
menonton saja, paling baik kalau di antara mereka saling cekcok dan bunuh-membunuh, paling akhir barulah
aku turun tangan, dengan demikian aku dapat mengeduk hasilnya dengan mudah.”
Tapi Giam Sam-seng ternyata tidak bodoh, katanya kepada Yu Siok, “Baiklah, biar kau saja yang mengambil
kiam-boh itu dari baju orang she Lenghou.”
Namun Yu Siok menggeleng dengan tersenyum, “Tidak usah ya! Aku sekali-kali tidak punya niat mengangkangi
sendiri kiam-boh itu, bahkan juga tidak punya hasrat akan membacanya paling dulu. Biar Giam-heng saja
mengambilnya, nanti aku cuma numpang baca sedikit saja, rasanya sudah puas bagiku.”
“Jika begitu, kau saja yang mengambilnya,” kata Giam Sam-seng kepada Giok-leng.
“Kukira lebih baik Giam-heng sendiri saja,” jawab Giok-leng Tojin.
Ketika Giam Sam-seng memandang Tong-pek-siang-ki, ternyata kedua orang itu pun menggeleng kepala,
suatu tanda mereka pun enggan.
Nyata kelima orang itu cukup menyadari siapa saja yang mengulur tangan ke dalam baju Lenghou Tiong hal ini
berarti punggungnya tak terjaga, bila keempat orang lain serentak menyergapnya pasti sukar menyelamatkan
diri.
Begitulah dengan suara gusar Giam Sam-seng lantas mengomel, “Hm, apa pikiran kalian berempat anak kurakura
ini memangnya aku tidak tahu? Kalian ingin aku mengambil kiam-bohnya, lalu kalian akan menyergap
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
diriku. Hm, orang she Giam sekali-kali tidak sudi ditipu mentah-mentah. Orang she Yu, kau saja yang
mengambilnya.”
Yu Siok mundur dua langkah, katanya dengan tertawa seraya kebas-kebas kipasnya, “Hehe, tidak usah ya...!”
Kelima orang sama tidak mau tertipu, satu sama lain tidak yakin akan dapat menang bila menggunakan
kekerasan, maka untuk sekian lamanya mereka hanya saling pandang saja, keadaan menjadi buntu.
Lenghou Tiong khawatir perhatian kelima orang itu beralih pula kepada Ing-ing, maka ia coba membuka suara,
“Eh, kalian tidak perlu terburu-buru, biar aku mengingat-ingatnya lagi. O, ya, kalau tidak keliru, beginilah
kalimat selanjutnya: Pedang Pi-sia muncul, bunuh bersih habis-habisan, tidak habis makan sendiri... eh, keliru,
tidak habis... tidak habis jual lagi... eh, keliru pula. Wah, konyol, isi kiam-boh ini memang terlalu dalam
maknanya sehingga sukar dipahami.”
Padahal Lenghou Tiong sengaja mengoceh tak keruan, sebaliknya yang dipikir kelima orang itu hanya
mendapatkan kiam-boh melulu, mereka tidak perhatikan ocehan Lenghou Tiong yang ngawur itu, sebaliknya
mereka makin getol mendapatkan kitab yang diidam-idamkan itu.
Dengan tak sabar segera Giam Sam-seng mengangkat goloknya, lalu berseru, “Baiklah, biar aku yang
mengambil kiam-boh itu dari baju bocah she Lenghou itu. Tapi untuk itu kalian berempat harus menyingkir
keluar pintu sebagai jaminan keselamatanku.”
Tong-pek-siang-ki tanpa bicara terus mengundurkan diri keluar. Dengan cengar-cengir Yu Siok juga ikut jejak
kedua kawannya itu. Hanya Giok-leng Tojin saja yang merasa sangsi dan cuma mundur dua-tiga langkah.
“Kau pun enyah keluar sana!” bentak Giam Sam-seng.
“Apa-apaan main bentak-bentakan? Memangnya aku gentar padamu? Mau keluar atau tidak kan bergantung
padaku, dengan hak apa kau memerintah aku?” jawab Giok-leng dengan gusar. Tapi tidak urung ia pun
mengundurkan diri ke luar pintu.
Begitulah dengan mata tanpa berkedip keempat orang itu terus mengawasi gerak-gerik Giam Sam-seng,
mereka yakin berada di dalam Leng-kui-kok yang setengah terapung di udara itu tiada jalan lain untuk
meloloskan diri kecuali melalui tangga yang menurun ke bawah itu, maka mereka tidak khawatir Giam Samseng
akan kabur dengan menggondol kiam-boh yang diperolehnya.
Segera Giam Sam-seng berdiri mungkur, membelakangi Lenghou Tiong dan mengawasi keempat orang di luar
pintu itu seakan-akan khawatir keempat teman itu serentak menyergapnya berbarengan. Dengan tangan kiri
Giam Sam-seng menjulur ke belakang untuk menggagap saku baju Lenghou Tiong.
Akan tetapi meski sudah menggagap sini dan meraba sana, nyatanya tiada sesuatu benda apa pun yang
disentuhnya. Ia masih penasaran, ia gunakan mulut untuk menggigit golok, tangan kiri digunakan
mencengkeram dada Lenghou Tiong, tangan kanan terus menggagap pula saku pemuda itu.
Di luar dugaan, sedikit tangan kirinya mengeluarkan tenaga, seketika ia merasa tenaga dalam sendiri mengalir
keluar melalui tangan kiri sendiri.
Ia terkejut dan lekas-lekas hendak menarik kembali tangannya, namun tangan itu seperti kena lem saja,
melekat di tubuh Lenghou Tiong, betapa pun dibetot sukar lagi ditarik kembali.
Keruan ia tambah khawatir dan buru-buru mengerahkan tenaga sepenuhnya untuk menarik diri. Tapi lebih
celaka lagi baginya, semakin kuat dia mengerahkan tenaga, semakin cepat dan deras pula tenaga dalamnya
bocor keluar. Semakin dia meronta dengan mati-matian, semakin membanjir keluar tenaga dalamnya laksana
air bah yang sukar dibendung.
Ketika Lenghou Tiong terkurung dalam penjara di bawah danau di Hangciu dahulu, tanpa sengaja dia pernah
menyedot tenaga dalam Hek-pek-cu dengan Gip-sing-tay-hoat yang baru saja diyakinkannya. Kini pada detik
yang berbahaya, kembali disaluri pula oleh tenaga dalam musuh, keruan ia sangat girang. Tapi dia sengaja
berkata, “He, kenapa kau pencet nadi dadaku? Lekas lepaskan, biar kuuraikan kunci ilmu pedang itu padamu.”
Lalu ia pura-pura menggerakkan bibir seperti orang sedang bicara.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Melihat demikian, Giok-leng berempat yang siap di luar pintu itu mengira Lenghou Tiong benar-benar sedang
menguraikan isi kiam-boh kepada Giam Sam-seng, mereka merasa akan rugi jika tidak ikut mendengarkan.
Maka serentak mereka lari ke hadapan Lenghou Tiong.
“Ya, ya, buku itulah kiam-boh yang kau cari, keluarkan saja, biar dibaca orang banyak!” seru Lenghou Tiong
sengaja. Padahal tangan Giam Sam-seng sudah melekat pada tubuhnya, mana bisa ditarik keluar.
Namun Giok-leng Tojin menyangka Giam Sam-seng benar-benar telah menemukan kiam-boh yang digagap
dalam baju Lenghou Tiong. Disangkanya pula Giam Sam-seng tidak mau mengeluarkan kiam-boh yang
ditemukan, tapi ingin mengangkanginya sendiri. Sudah tentu ia tidak tinggal diam, segera ia pun menjulurkan
tangan ke dalam baju Lenghou Tiong, kontan tangannya juga lengket, tenaga dalamnya juga mengocor keluar
dengan derasnya.
“He, he, kalian berdua jangan berebut, nanti kiam-boh bisa robek dan tak bisa dibaca lagi!” demikian Lenghou
Tiong sengaja memberi isyarat, menyusul sinar kuning berkelebat, dua batang tongkat tembaga mengemplang
dari atas. Tanpa ampun lagi, kepala Giam Sam-seng dan Giok-leng Tojin pecah berantakan, otak pun
berceceran.
Begitu kedua orang itu mati, tenaga dalam mereka pun buyar, kedua tangan mereka yang lekat di tubuh
Lenghou Tiong juga lantas terlepas, tergeletaklah mayat mereka berdua.
Sekonyong-konyong Lenghou Tiong mendapatkan saluran tenaga dalam orang, maka hiat-to yang tadinya
tertutuk itu kena diterjang hingga tertembus dan lancar kembali seketika.
Betapa hebat tenaga dalam Lenghou Tiong yang sudah ada, sedikit menggunakan tenaga kontan tali yang
mengikat tangannya lantas putus sendiri, segera ia pegang gagang pedangnya seraya berkata, “Ini kiambohnya
berada di sini, siapakah yang mau ambil?”
Rupanya otak Tong-pek-siang-ki kurang cepat kerjanya, mereka belum mengetahui bahwa kedua tangan
Lenghou Tiong sudah terlepas dari ringkusan, mereka menjadi girang malah ketika mendengar Lenghou Tiong
menawarkan kiam-boh, tanpa pikir mereka terus mengulurkan tangan masing-masing untuk menerimanya.
Tapi mendadak sinar perak menyambar, bukannya kiam-boh yang diserahkan, sebaliknya terdengar suara
“crat-cret” dua kali, tangan kanan masing-masing telah tertebas buntung sebatas pergelangan dan jatuh ke
lantai. Keruan Tong-pek-siang-ki menjerit ngeri sambil melompat mundur.
Lenghou Tiong lantas mengerahkan tenaga pada kakinya sehingga tali pengikat kaki juga diputuskan, menyusul
ia lantas melompat ke depan Ing-ing lalu berkata kepada Yu Siok, “Sekali ilmu pedang sudah manjur, serentak
bunuh bersih habis-habisan! Nah, Yu-heng, itulah kalimat kunci Pi-sia-kiam-hoat, kau ingin membaca kiambohnya
tidak?”
Bab 133. Ketololan Tho-kok-lak-sian dan Kedogolan Put-kay Hwesio
Betapa pun licik dan licin Yu Siok, tidak urung mukanya menjadi pucat seperti mayat, dengan suara gemetar ia
menjawab, “Ter... terima kasih, aku tidak... tidak ingin membacanya!”
“Ah, jangan sungkan-sungkan, baca saja kan tidak apa-apa toh?” ujar Lenghou Tiong dengar tertawa.
Berbareng ia tepuk-tepuk dan urut-urut punggung serta pinggang Ing-ing untuk membuka hiat-to si nona yang
tertutuk.
Dengan badan gemetar Yu Siok berkata, “Lenghou... Lenghou-kongcu, Leng... Lenghou-tayhiap, engkau...
engkau... engkau...” mendadak ia bertekuk lutut dan menyembah, lalu melanjutkan, “Siaujin (hamba) memang
pantas dihukum mati, asalkan Seng... Seng-koh dan Ciangbunjin ada perintah, biarpun ke lautan api atau
terjun air mendidih juga... juga hamba takkan menolak.”
“Kabarnya Tiau-yang-sin-kau ada obat yang enak sekali, setiap orang yang sudah makan obat itu akan selalu
ketagihan,” dengan tertawa Lenghou Tiong meledek.
Berulang-ulang Yu Siok menjura, katanya, “Seng-koh dan Ciangbunjin mahabijaksana, Siaujin mohon ampun
dan izinkan Siaujin menebus dosa dengan mengabdi segenap jiwa raga....”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Tiba-tiba Ing-ing melihat Tong-pek-siang-ki masih berdiri sejajar di situ, meski masing-masing orang sudah
terkutung sebelah tangannya dan darah masih mengucur, namun tiada sedikit pun rasa gentar tertampak pada
wajah mereka.
Ing-ing lantas bertanya, “Apakah kalian suami-istri?”
Tong-pek-siang-ki itu memang terdiri dari laki-perempuan, yang lelaki bernama Ciu Koh-tong, yang perempuan
bernama Go Pek-eng, meski kedua orang resminya bukan suami-istri, tapi selama 20-an tahun mereka hidup
bersama di dunia Kang-ouw, praktiknya adalah suami-istri.
Maka dengan ketus Ciu Koh-tong menjawab, “Kami telah jatuh di tanganmu, mau dibunuh atau hendak
disembelih boleh silakan saja, buat apa banyak bertanya segala?”
Ing-ing sangat suka kepada sifatnya yang angkuh itu, dengan dingin ia berkata pula, “Aku tanya kalian apakah
suami-istri bukan?”
“Kami bukan suami-istri nikah, tapi selama 20-an tahun kami hidup lebih bahagia daripada suami-istri resmi,”
sahut Go Pek-eng.
“Di antara kalian berdua hanya seorang saja yang jiwanya dapat diampuni,” kata Ing-ing. “Kalian masingmasing
sudah cacat sebelah tangan dan akan...” teringat kepada ayah sendiri juga buta sebelah, ia tidak
melanjutkan lagi, setelah merandek sejenak barulah menyambung, “Nah, bolehlah kalian turun tangan
membunuh salah seorang, sisa seorang lagi boleh pergi dengan bebas.”
“Baik,” seru Tong-pek-siang-ki berbareng, tongkat mereka bergerak, masing-masing mengemplang batok
kepala sendiri.
“Nanti dulu!” seru Ing-ing sambil putar pedangnya, “trang-trang” dua kali, tongkat kedua orang kena ditangkis.
“Biar aku membunuh diri saja, Seng-koh sudah menyatakan akan membebaskan kau, kenapa kau tidak mau?”
seru Ciu Koh-tong kepada kawannya.
“Aku saja yang mati dan biar kau yang hidup, kenapa mesti berebutan?” sahut Go Pek-eng.
“Bagus, cinta kalian memang teguh sejati, sungguh aku sangat menghargai kalian,” kata Ing-ing. “Nah, kalian
tiada satu pun kubunuh, lekas kalian membalut tangan kalian yang buntung itu.”
Girang sekali Tong-pek-siang-ki, cepat mereka membuang tongkat masing-masing dan berusaha membalut
tangan pihak lain.
“Tapi ada sesuatu, kalian harus melaksanakannya dengan taat,” kata Ing-ing pula.
Berbareng Tong-pek-siang-ki mengiakan.
“Begini,” kata Ing-ing, “setelah pergi dari sini, kalian harus segera mengadakan upacara nikah secara resmi.
Kalian sudah hidup bersama, kalau tidak menikah secara resmi kan....” mestinya ia hendak mengatakan “kan
tidak pantas”, tapi lantas teringat dirinya juga sudah sekian lamanya bergaul dengan Lenghou Tiong dan juga
belum menikah secara resmi, maka wajahnya menjadi merah jengah.
Tong-pek-siang-ki saling pandang sekejap, lalu keduanya memberi hormat dan mengucapkan terima kasih.
“Dengan budi luhur Seng-koh kalian telah diampuni, bahkan mengingatkan kepentingan kehidupan kalian,”
timbrung Yu Siok yang sok itu. “Sungguh rezeki kalian tidak kecil, memangnya aku sudah tahu Seng-koh
sangat baik hati terhadap bawahannya.”
“Kedatangan kalian ke Hing-san ini sebenarnya atas perintah siapa dan ada rencana muslihat apa?” tanya Inging.
“Hamba telah tertipu oleh si keparat anjing Gak Put-kun,” tutur Yu Siok. “Katanya dia mendapat titah Hek-bokleng
dari Yim-kaucu yang menugaskan dia menangkap segenap nikoh Hing-san-pay untuk digiring ke Hek-bokDimuat
di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
keh.”
“Katanya usaha kalian berhasil?” tanya Ing-ing. “Sebenarnya bagaimana persoalannya?”
“Ada orang menaruh racun di dalam beberapa buah sumur di atas gunung sini sehingga tidak sedikit nikoh
Hing-san-pay yang terbius itu,” tutur Yu Siok. “Banyak juga di antara anggota yang tinggal di paviliun ikut
jatuh terbius. Saat ini sudah sebagian digiring menuju ke Hek-bok-keh.”
“Adakah orang-orang yang terbunuh?” tanya Lenghou Tiong.
“Beberapa anggota yang tinggal di paviliun sana telah menjadi korban, tapi... tapi mereka bukan teman
Lenghou-tayhiap,” tutur Yu Siok.
Lenghou Tiong manggut-manggut merasa lega.
“Marilah kita turun dari sini,” ajak Ing-ing.
Lenghou Tiong mengiakan sambil menjemput pedang tinggalan Say-po Hwesio tadi, katanya dengan tertawa,
“Bila ketemu perempuan galak itu harus coba-coba mengukur tenaganya.”
“Banyak terima kasih atas pengampunan Seng-koh dan Lenghou-tayhiap,” kata Yu Siok yang mengira dirinya
tak dipersoalkan lagi.
“Ah, jangan rendah hati,” ujar Ing-ing, sekonyong-konyong pedang pendek di tangan kiri disambitkan “crat”,
kontan menancap di dada Yu Siok, manusia yang selama hidupnya suka sok itu seketika melayang jiwanya.
Lenghou Tiong dan Ing-ing lalu turun dari loteng itu, suasana pegunungan sunyi senyap, hanya terdengar
suara burung berkicau. Ing-ing mengikik tawa setelah melirik sekejap ke arah Lenghou Tiong.
“Mulai hari ini Lenghou Tiong sudah cukur rambut dan menjadi hwesio, sejak kini sudah meninggalkan khalayak
ramai, maka di sinilah kita berpisah,” kata Lenghou Tiong sambil menghela napas.
Ing-ing tahu pemuda itu hanya bergurau saja, tapi karena cintanya yang mendalam, tanpa merasa hatinya
tergetar khawatir, katanya, “Engkoh Tiong, janganlah kau bergurau se... secara begini, aku... aku....”
Lenghou Tiong menjadi terharu, ia pura-pura keplak kepala gundul sendiri dan berkata pula, “Tapi karena ada
seorang istri cantik jelita demikian, si hwesio terpaksa kembali ke dunia ramai lagi.”
“Cis, marilah kita bicara hal yang penting saja,” omel Ing-ing dengan tertawa. “Menurut Yu Siok tadi, sebagian
anak murid Hing-san-pay sudah digiring pergi, bila sampai di Hek-bok-keh tentu sukar untuk menolongnya,
bahkan akan merusak hubungan baik antara aku dan Ayah....”
“Ya, bahkan lebih merusak hubungan baik antara aku sebagai menantu dengan bapak mertua,” sambung
Lenghou Tiong.
Ing-ing melirik si pemuda, namun hatinya terasa manis sekali.
“Urusan jangan terlambat, marilah kita lekas menyusul ke sana untuk menolong para kawan,” ajak Lenghou
Tiong.
“Ya, sapu bersih seluruhnya, jangan diberi sisa agar Ayah tidak tahu,” kata Ing-ing. Sejenak kemudian tiba-tiba
ia menghela napas.
Lenghou Tiong dapat memahami perasaannya, sebab urusan sepenting ini tentu tidaklah gampang mengelabui
mata telinga Yim Ngo-heng, namun diri sendiri menjabat ketua Hing-san-pay, kini anak buahnya ditawan
orang, masakan boleh tinggal diam tanpa menolongnya? Si nona memang sudah bertekad membela pihaknya,
sekalipun melawan perintah ayah juga siap sedia.
Mengingat urusannya sudah lanjut begini, segala sesuatu harus ada suatu ketegasan juga, Lenghou Tiong
lantas ulur tangan kiri untuk menggenggam erat-erat tangan kanan Ing-ing. Semula si nona hendak meronta,
tapi melihat sekitarnya sepi tiada seorang lain pun, akhirnya diam saja membiarkan tangannya dipegang
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Lenghou Tiong.
“Ing-ing, aku paham perasaanmu,” kata Lenghou Tiong. “Urusan ini tentu akan membikin kalian anak dan ayah
berselisih paham, sungguh aku merasa tidak enak di hati.”
“Jika Ayah memikirkan diriku tentu takkan turun tangan terhadap Hing-san-pay,” kata Ing-ing sambil
menggeleng perlahan. “Menurut dugaanku, caranya menghadapi kau agaknya tiada bermaksud buruk.”
Seketika Lenghou Tiong dapat menangkap maksud ucapan Ing-ing itu, katanya, “Ya, agaknya ayahmu sengaja
menangkap anak buahku sebagai alat pemeras agar aku masuk Tiau-yang-sin-kau.”
“Benar,” ujar Ing-ing. “Sesungguhnya Ayah sangat suka padamu, apalagi kau adalah satu-satunya ahli waris
ilmu saktinya.”
“Aku sudah pasti tidak sudi masuk Sin-kau,” kata Lenghou Tiong. “Aku menjadi muak dan ngeri bila mendengar
sanjung puji anggota Sin-kau kalian terhadap ayahmu.”
“Ya, aku tahu, makanya aku pun tak pernah membujuk kau masuk menjadi anggota,” kata Ing-ing. “Bila kau
masuk Sin-kau, kelak engkau diangkat menjadi kaucu, siang-malam kau akan selalu mendengar ucapan
sanjung puji yang membikin risi dirimu itu, maka sifatmu pasti juga akan berubah dan takkan seperti sekarang
ini. Contohnya, sejak Ayah pulang kembali ke Hek-bok-keh, pribadinya sudah berubah dengan cepat.”
“Tapi kita pun tak boleh membikin marah pada ayahmu,” ujar Lenghou Tiong, berbareng ia genggam pula
tangan kiri si nona, lalu menyambung, “Ing-ing, setelah kita bebaskan anak buah Hing-san-pay, segera kita
melangsungkan pernikahan, kita tidak perlu gubris tentang keputusan orang tua, tentang perantara comblang
segala. Biarlah kita berdua mengundurkan diri dari dunia persilatan dan hidup mengasingkan diri takkan ikut
campur urusan luar, yang kita utamakan melulu bikin anak saja.”
Semula Ing-ing mendengarkan dengan termangu, air mukanya bersemu merah, hatinya girang tak terkatakan.
Tapi demi mendengar kata-kata terakhir, ia terkejut, sekuatnya ia meronta dan melepaskan kedua tangannya
yang dipegang Lenghou Tiong itu.
“Setelah menjadi suami istri kan mesti punya anak?” dengan tertawa Lenghou Tiong menjelaskan.
“Jika engkau sembarang omong lagi, tiga hari aku takkan bicara dengan kau,” ancam Ing-ing.
Lenghou Tiong cukup kenal watak si nona yang berani berkata berani berbuat, maka terpaksa ia menjawab
dengan menyengir, “Baiklah, urusan penting harus kita selesaikan dulu. Marilah kita coba menjenguk ke Kianseng-
hong sana.”
Dengan ginkang yang tinggi mereka lantas mendaki puncak gunung itu. Setiba di sana, ternyata kuil induk
tiada seorang pun, tempat tinggal para anak murid juga kosong melompong, isi rumah berserakan di sana-sini,
pedang golok juga tercecer tak keruan. Syukur tiada terdapat noda darah, agaknya tidak sampai jatuh korban.
Mereka coba ke paviliun di Thong-hoa-kok, di situ juga tiada seorang pun. Hanya di atas meja masih penuh
macam-macam daharan dan arak. Seketika Lenghou Tiong ketagihan minum, tapi mana dia berani minum
seceguk sisa arak itu? Katanya, “Perut sudah lapar, marilah kita tangsel perut dulu ke bawah gunung.”
Setiba di bawah gunung hari sudah jauh lewat tengah hari, di suatu rumah makan kecil mereka tangsel perut
sekenyangnya. Ing-ing merobek sepotong kain baju Lenghou Tiong untuk membungkus kepalanya yang kelimis
itu.
“Ya, harus begini, kalau tidak, wah, jangan-jangan disangka seorang hwesio menculik anak gadis orang,” kata
Lenghou Tiong dengan tertawa.
Begitulah mereka lantas berangkat ke arah Hek-bok-keh dengan cepat. Kira-kira satu jam kemudian, tiba-tiba
terdengar di balik gunung sana sayup-sayup ada suara orang membentak dan memaki, waktu mereka berhenti
dan mendengarkan dengan cermat, kedengarannya adalah suara Tho-kok-lak-sian.
Cepat mereka menyusul ke arah suara itu, lambat laun suara-suara itu terdengar semakin jelas, memang betul
adalah suara Tho-kok-lak-sian.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Entah keenam mestika hidup ini sedang cekcok dengan siapa?” kata Ing-ing dengan suara tertahan.
Setelah membelok suatu tanah tanjakan, mereka lantas sembunyi di balik pohon, terdengar Tho-kok-lak-sian
masih membentak-bentak sambil mengepung satu orang sedang bertempur dengan sengit. Orang itu bergerak
dengan cepat luar biasa, hanya tertampak sesosok bayangan menyelinap kian-kemari di antara keenam
lawannya. Ketika diperhatikan, kiranya adalah ibu Gi-lim, yaitu si nenek penjaga Sian-kong-si yang pura-pura
bisu-tuli itu.
Sejenak kemudian, terdengar suara “plak-plok” beberapa kali, Tho-kin-sian dan Tho-sit-sian lantas berkaokkaok,
nyata masing-masing telah kena ditampar oleh si nenek.
Melihat si nenek, Lenghou Tiong menjadi girang, bisiknya kepada Ing-ing, “Ini namanya bayar kontan keras!
Biarlah aku pun cukur bersih rambutnya,”
Segera ia bersiap-siap, bilamana Tho-kok-lak-sian kewalahan ia akan melompat keluar untuk membantu.
Dalam pada itu terdengar suara “plak-plok” berulang-ulang, keenam saudara dogol itu berturut-turut kena
digampar oleh nenek itu. Tho-kok-lak-sian sangat murka, maksud mereka hendak memegang kaki dan tangan
lawan agar dapat membesetnya menjadi empat potong.
Tapi gerakan si nenek memang cepat sekali laksana bayangan setan, beberapa kali tampaknya Tho-kok-laksian
hampir berhasil pegang kaki atau tangannya, tapi selalu terpaut satu-dua senti dan si nenek keburu lolos.
Habis itu kembali mereka kena tempelengan lagi.
Rupanya si nenek juga sadar akan kelihaian keenam lawannya, ia pun khawatir kehabisan tenaga dan akhirnya
bisa tertangkap oleh lawannya.
Tidak lama kemudian, nenek itu merasa sukar memperoleh kemenangan, cepat ia membuka serangan pula
“plak-plok-plak-plok”, berturut-turut ia gampar lagi muka empat lawannya, habis itu mendadak ia melompat ke
belakang terus melarikan diri.
Gerak larinya benar-benar secepat kilat, hanya dalam sekejap saja sudah berada berpuluh meter jauhnya,
biarpun Tho-kok-lak-sian membentak-bentak dan berkaok-kaok, namun sukar untuk menyusulnya.
Sekonyong-konyong Lenghou Tiong melompat keluar dari tempat sembunyinya sambil melintangkan pedang
dan membentak, “Lari ke mana?”
Sinar putih berkelebat, segera ujung pedang mengarah leher si nenek.
Karena serangan yang mengarah tempat mematikan itu, si nenek terkejut, dengan sebelah tangan ia coba
mencengkeram pedang lawan. Namun Lenghou Tiong lantas miringkan pedangnya ke samping untuk menusuk
bahu kanan si nenek. Dalam keadaan tak bisa berkelit lagi, terpaksa si nenek melompat mundur.
Tapi Lenghou Tiong lantas menusuk maju pula sehingga nenek itu terpaksa mundur lagi selangkah. Dengan
pedang di tangan, jelas si nenek tak mampu menandinginya. “Sret-sret-sret”, kembali Lenghou Tiong
mendesak mundur si nenek beberapa langkah. Kalau dia mau habiskan jiwanya, dengan gampang saja riwayat
si nenek bisa ditamatkan.
Melihat itu, Tho-kok-lak-sian bersorak gembira, sementara itu ujung pedang Lenghou Tiong sudah menuding di
depan dada si nenek dan membuatnya tak berani bergerak lagi. Pada saat itulah Tho-kok-lak-sian terus
memburu maju, empat orang di antaranya serentak memegang kedua kaki dan kedua tangan si nenek terus
diangkat ke atas.
“Jangan mencelakai jiwanya!” bentak Lenghou Tiong.
Tapi Tho-hoa-sian masih penasaran, ia tampar sekali muka si nenek.
“Kerek saja dia!” seru Lenghou Tiong.
“Ya, benar, mana talinya?” seru Tho-kin-sian.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Tho-kok-lak-sian tidak satu pun membekal tali, di tengah hutan belukar juga sukar mencari tali, Tho-hoa-sian
dan Tho-kan-sian berusaha mencari di sekitar situ, ketika mendadak pegangan mereka rada kendur, segera si
nenek meronta melepaskan diri, ia menggelundung di atas tanah terus memberosot pergi.
Baru saja si nenek bermaksud melarikan diri sekencangnya, sekonyong-konyong punggung terasa tertusuk
sesuatu yang tajam, terdengar Lenghou Tiong berkata dengan tertawa, “Berhenti!”
Nyata ujung pedangnya telah mengancam punggung si nenek.
Sama sekali si nenek tidak menyangka ilmu pedang Lenghou Tiong bisa sedemikian hebat, ia menjadi gentar
dan terpaksa tidak berani bergerak.
Segera Tho-kok-lak-sian memburu maju, enam jari bekerja bersama, masing-masing menutuk satu tempat
hiat-to di tubuh si nenek. Sambil meraba pipi yang bengep kena gambaran si nenek tadi segera Tho-kan-sian
bermaksud balas menampar.
Lenghou Tiong merasa tidak enak hati bila ibu Gi-lim sampai teraniaya, cepat ia berseru, “Nanti dulu, biarlah
kita kerek dia saja di atas pohon.”
Mendengar itu, Tho-kok-lak-sian sangat senang, tanpa disuruh lagi segera mereka mengelotoki kulit batang
pohon untuk dipintal menjadi tali. Lalu Lenghou Tiong coba tanya mereka sebab musababnya mereka berkelahi
dengan si nenek.
“Kami berenam sedang berak di sini, selagi menguras perut dengan senangnya, tiba-tiba perempuan ini berlari
ke sini,” demikian Tho-ki-sian menutur. “Datang-datang perempuan ini terus bertanya, ‘Hai, apakah kalian
melihat seorang nikoh cilik?’ – Bicaranya kasar, pula mengganggu isi perut kami yang hampir terkuras
bersih....”
Mendengar penuturannya yang menjijikkan itu, Ing-ing mengerut kening dan berjalan menyingkir ke sana.
Dengan tertawa Lenghou Tiong lantas berkata, “Ya, perempuan ini memang tidak kenal sopan santun
pergaulan.”
“Sudah tentu kami tidak gubris padanya dan suruh dia lekas enyah,” Tho-ki-sian melanjutkan. “Tapi
perempuan ini terus main pukul dan beginilah kami lantas berhantam dengan dia. Coba kalau Lenghou-hengte
tidak lekas datang tentu dia sudah lolos.”
“Juga belum tentu mampu lolos dia,” sanggah Tho-hoa-sian. “Kita kan sengaja membiarkan dia lari beberapa
langkah, lalu menyusulnya, supaya dia gembira sia-sia.”
“Ya, di bawah tangan Tho-kok-lak-sian tidak pernah terjadi musuh dapat lolos, kami pasti dapat membekuk dia
kembali,” sambung Tho-sit-sian.
“Cara kami ini namanya kucing mempermainkan tikus,” Tho-kin-sian menambahkan.
Lenghou Tiong kenal watak mereka yang tidak mau kalah, betapa pun ingin menjaga gengsi. Maka ia pun tidak
heran dan malah memuji akan kehebatan mereka.
Dalam pada itu tali sudah selesai dipintal dari kulit pohon, segera kaki dan tangan si nenek ditelikung dan diikat
kencang, lalu dikerek di atas pohon.
Dengan pedangnya yang tajam Lenghou Tiong menebang dari atas batang pohon sehingga terpapas sepanjang
dua-tiga meter, lalu dengan pedang ia gores beberapa huruf yang berbunyi: “Gentong cuka nomor satu di
dunia ini.”
“Lenghou-hengte, mengapa perempuan ini disebut gentong cuka nomor satu di dunia? Apakah kepandaiannya
minum cuka sangat hebat?” tanya Tho-kin-sian. “Ah, aku tidak percaya, boleh coba kita lepaskan dia, aku ingin
berlomba dengan dia.”
“Minum cuka adalah kata olok-olok,” Lenghou Tiong menerangkan. “Kalian Tho-kok-lak-sian adalah pahlawan
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
yang tiada bandingannya, perempuan itu mana sanggup menandingi kalian, buat apa berlomba apa segala.”
Dasar Tho-kok-lak-sian memang suka dipuji, keruan mereka menjadi senang, dengan tertawa gembira mereka
mengiakan.
“Sekarang aku ingin tanya keenam Tho-heng,” kata Lenghou Tiong pula. “Sebenarnya kalian melihat Gi-lim
Sumoay atau tidak?”
“Apakah kau maksudkan nikoh cilik jelita dari Hing-san-pay itu?” sahut Tho-ki-sian. “Nikoh cilik itu sih kami
tidak lihat, tapi hwesio besar ada dua yang kami lihat.”
“Seorang adalah ayah si nikoh cilik dan satu lagi adalah muridnya,” sambung Tho-kok-lak-sian.
“Di mana mereka sekarang?” tanya Lenghou Tiong.
“Mereka sudah lewat ke sana kira-kira sejam yang lalu,” tutur Tho-yap-sian. “Mereka mengajak kami minum
arak di kota depan sana, kami bilang habis berak segera menyusul. Siapa tahu perempuan ini keburu datang
dan merecoki kami.”
Tiba-tiba hati Lenghou Tiong tergerak, katanya, “Baiklah, kalian boleh menyusul nanti, biar aku pergi ke sana
dahulu.”
Ia tahu Ing-ing suka kepada kebersihan dan tidak ingin berada bersama keenam orang dogol itu, maka cepat ia
mengajak Ing-ing berangkat.
“Kau tidak cukur rambut perempuan itu, tentunya karena kau mengingat diri Gi-lim Sumoaymu,” kata Ing-ing
dengan tertawa. “Dan balas dendammu jadinya cuma terbalas tiga bagian saja.”
Setelah berjalan belasan li jauhnya, tibalah mereka di suatu kota yang cukup ramai, pada rumah makan kedua
dapatlah diketemukan Put-kay Hwesio dan Dian Pek-kong sedang duduk menyanding daharan dan minuman.
Melihat Lenghou Tiong dan Ing-ing, kedua orang itu berseru girang, cepat Put-kay menyuruh pelayan
menambahkan daharan dan arak.
Ketika Lenghou Tiong tanya mereka ada kejadian apa, Dian Pek-kong lantas menutur, “Karena kejadian yang
memalukan di Hing-san itu, aku minta Thaysuhu lekas-lekas pergi saja dari sana.”
Dari uraian Dian Pek-kong itu Lenghou Tiong menarik kesimpulan mereka berdua belum tahu tentang
diculiknya anak murid Hing-san-pay. Untuk menyelamatkan anak murid Hing-san-pay tanpa diketahui oleh Yim
Ngo-heng, Lenghou Tiong pikir paling baik dirinya turun tangan secara diam-diam bersama Ing-ing, semakin
sedikit diketahui orang luar semakin baik.
Maka ia lantas berkata kepada Put-kay, “Taysu, aku ingin minta bantuanmu untuk menyelesaikan sesuatu
urusan, apakah kau mau?”
“Mau saja, lekas katakan,” sahut Put-kay.
“Tapi urusan ini perlu dirahasiakan, cucu-muridmu ini sekali-kali tidak boleh ikut campur,” kata Lenghou Tiong.
“Apa susahnya? Akan kusuruh dia menyingkir sejauh mungkin dan dilarang mengganggu urusanku, kan beres
segalanya?” ujar Put-kay.
“Baiklah. Sekarang dengarkan, dari sini ke timur sana kira-kira belasan li jauhnya, pada sebatang pohon yang
tinggi ada seorang teringkus dan dikerek tinggi di atas....”
“Keparat, kembali perbuatan bangsat piaraan biang anjing lagi,” kontan Put-kay memaki dengan gusar.
Lenghou Tiong meringis tanpa bisa berbuat apa, katanya dalam hati, “Buset, jadi di hadapanku kau memaki
aku terang-terangan.”
Tapi ia lantas berkata pula kepada Put-kay, “Orang yang dikerek tinggi di atas pohon itu adalah temanku, aku
minta bantuanmu agar pergi ke sana untuk menolongnya.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Apa susahnya untuk berbuat demikian?” ujar Put-kay. “Tapi mengapa kau sendiri tidak menolongnya?”
“Terus terang, temanku itu adalah seorang perempuan,” kata Lenghou Tiong dengan sengaja menahan suara
sambil mengerotkan mulutnya ke arah Ing-ing, “Aku merasa tidak leluasa karena berada bersama Yim-siocia.”
“Hahahaha!” Put-kay bergelak tertawa. “Ya, ya, tahulah aku! Tentunya kau takut kalau-kalau Yim-toasiocia
minum cuka (maksudnya cemburu).”
Ing-ing melotot sekejap kepada mereka berdua. Tapi dengan tertawa Lenghou Tiong berkata pula kepada Putkay,
“Justru perempuan itulah suka cemburuan. Dahulu suaminya cuma memandang sekejap saja kepada
seorang nyonya dan memujinya sepatah tentang kecantikan nyonya itu, tapi perempuan itu lantas minggat
tanpa pamit, akibatnya membikin susah suaminya mencari ke seluruh pelosok selama belasan tahun dan tetap
tidak ketemu.”
Mendengar kata-kata Lenghou Tiong itu, makin melotot pula biji mata Put-kay, napasnya juga memburu,
katanya dengan terputus-putus, “Apakah dia... dia... dia....” tapi tak sanggup dilanjutkannya.
“Kabarnya sampai sekarang suaminya masih terus mencarinya dan tetap belum bertemu,” sambung Lenghou
Tiong.
Sampai di sini, tertampak Tho-kok-lak-sian naik ke atas loteng rumah makan itu dengan bersenda gurau. Tapi
Put-kay seakan-akan tidak melihat kedatangan mereka, kedua tangannya memegang erat-erat lengan Lenghou
Tiong dan menegas, “Apakah ben... benar katamu ini?”
“Dia sendiri yang berkata padaku,” sahut Lenghou Tiong. “Katanya, biarpun suaminya berhasil menemukan dia,
biarpun berlutut dan menyembah padanya juga dia tak mau berkumpul kembali dengan sang suami. Sebab
itulah bila kau melepaskan dia, segera dia akan kabur. Gerak tubuh perempuan itu teramat cepat, hanya
sekejap mata saja dia sudah lenyap.”
“Aku pasti takkan... takkan mengedip mata, pasti tidak,” ujar Put-kay.
Bab 134. Menyusuri Jejak Musuh
“Kutanya dia pula mengapa tidak mau bertemu dengan suaminya, dia bilang suaminya adalah manusia paling
tidak berperasaan di dunia ini, orang yang paling doyan perempuan, biarpun bertemu kembali juga tiada
gunanya.”
Mendadak Put-kay berteriak satu kali, segera ia putar tubuh hendak lari pergi. Namun Lenghou Tiong keburu
menariknya dan membisikinya, “Akan kuajarkan suatu akal bagus padamu, tanggung dia takkan dapat
melarikan diri.”
Put-kay terkejut dan bergirang, ia tertegun sejenak, mendadak ia berlutut dan menyembah beberapa kali
kepada Lenghou Tiong sambil berkata, “Lenghou-hengte, o, tidak, Lenghou-ciangbun, Lenghou-kongkong,
Lenghou-suhu, kumohon engkau lekas mengajarkan akal bagus itu kepadaku, biarlah aku meng... mengangkat
kau sebagai guruku.”
“Ah, mana aku berani, lekas bangun!” sahut Lenghou Tiong dengan menahan geli. Lalu ia menarik bangun Putkay
sambil berbisik di tepi telinganya, “Nanti bila sudah kau turunkan dia dari atas pohon, jangan sekali-kali
kau buka tali ringkusannya, lebih-lebih jangan membuka hiat-to yang tertutuk, tapi kau pondong dia ke suatu
hotel, sewa satu kamar di situ. Nah, coba kau pikirkan sendiri, dengan cara bagaimana supaya seorang
perempuan tidak berani lari keluar hotel?”
Put-kay menjadi bingung, ia garuk-garuk kepala sendiri yang gundul, katanya, “Aku... aku tidak tahu.”
“Gampang saja,” kata Lenghou Tiong. “Belejeti pakaiannya. Dalam keadaan telanjang bulat masakah dia berani
lari keluar?”
Put-kay menjadi girang, ia bertepuk tangan dan berseru, “Bagus! Akal bagus! Suhu, budi kebaikanmu....” tidak
sampai habis ucapannya, terus saja ia melompat keluar melalui jendela dan lenyaplah dalam sekejap.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Eh, sungguh aneh kelakuan hwesio gede itu? Mau apa dia pergi secara begitu terburu-buru?” kata Tho-kinsian.
“Tentu dia kebelet berak, makanya terburu-buru,” kata Tho-kin-sian.
“Tapi kenapa dia menyembah kepada Lenghou-hengte dan memanggil suhu, padanya?” ujar Tho-hoa-sian.
“Sudah tua begitu masakah berak saja perlu diajar oleh orang lain?”
“Berak ada sangkut paut apa dengan tua-mudanya usia?” bantah Tho-yap-sian. “Apakah anak umur tiga tahun
bisa berak sendiri tanpa diajarkan orang tua?”
Ing-ing tahu pembicaraan keenam orang dogol itu makin lama tentu semakin tak keruan, maka ia lantas
memberi isyarat kepada Lenghou Tiong dan meninggalkan rumah makan itu.
“Keenam Tho-heng,” seru Lenghou Tiong sebelum pergi, “biasanya kalian terkenal ahli minum arak tanpa ada
tandingan, maka silakan kalian minum sepuas-puasnya di sini, aku sendiri tidak sanggup minum banyakbanyak,
terpaksa berangkat lebih dulu.”
Karena dipuji sebagai ahli minum arak, Tho-kok-lak-sian menjadi senang, dalam anggapan mereka bila tidak
minum habis beberapa guci rasanya akan berdosa kepada Lenghou Tiong yang telah memujinya. Maka
beramai-ramai mereka menjawab, “Ya, kesanggupanmu minum arak tentu saja selisih jauh dengan kami.
Baiklah, boleh kau berangkat dahulu, setelah kami kenyang minum segera kami menyusul.”
Lalu seorang lagi berteriak, “Hai, pelayan! Lekas bawakan enam guci arak enak!”
Begitulah, cukup Lenghou Tiong mengucapkan satu kalimat saja sudah dapat menghindarkan diri dari recokan
keenam manusia dungu itu.
Setiba di luar rumah makan, dengan menahan tawa Ing-ing berkata kepada Lenghou Tiong, “Kau telah
memulihkan hubungan suami istri orang, jasamu sungguh tak terbatas. Hanya saja cara yang kau ajarkan dia
rasanya agak... agak....” sampai di sini mendadak wajahnya menjadi merah dan menunduk jengah.
Lenghou Tiong hanya memandangi si nona dengan tertawa tanpa buka suara.
Setelah keluar kota, sudah sekian jauhnya Lenghou Tiong masih tetap tersenyum saja sambil memandangi Inging.
“Melihat apa? Apakah tidak kenal lagi padaku?” omel si nona.
“Aku lagi berpikir, perempuan itu pernah mengerek aku di atas pohon, maka satu dibalas satu, aku pun
mengerek dia di atas pohon,” kata Lenghou Tiong dengan tertawa. “Dia mencukur rambutku, aku balas dia
dengan menyuruh suaminya membelejeti dia hingga telanjang bulat, inilah satu lawan satu namanya.”
“Satu lawan satu katamu?” si nona menegas dengan melirik dan tersenyum.
“Ya, semoga Put-kay Taysu tidak sembrono dan tidak main kasar, semoga mereka suami-istri dapat berkumpul
kembali dengan bahagia,” ujar Lenghou Tiong dengan tertawa.
“Tapi, awas, lain kali bila ketemu lagi dengan perempuan itu tentu kau boleh rasakan pembalasannya.”
“Aku membantu mereka suami-istri berkumpul kembali, dia justru harus berterima kasih padaku,” sahut
Lenghou Tiong. Lalu ia pandang beberapa kejap lagi kepada Ing-ing sambil cengar-cengir, sikapnya sangat
aneh.
“Apa yang kau tertawakan lagi?” tanya si nona.
“Aku pikir entah apa yang akan dikatakan Put-kay Taysu di dalam kamar hotel nanti,” sahut Lenghou Tiong.
“Tapi mengapa kau memandangi aku saja?” omel Ing-ing. Tiba-tiba ia dapat menangkap maksud Lenghou
Tiong. Rupanya pemuda “bergajul” ini sedang membayangkan betapa suasana di kamar hotel di kala Put-kay
Hwesio membelejeti pakaian istrinya hingga telanjang bulat. Pikirannya melayang ke kamar hotel, tapi yang
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
dipandang adalah dirinya, maka dapat dibayangkan apa yang terpikir di dalam benak pemuda itu. Seketika
wajah Ing-ing menjadi merah, segera ia hendak memukul Lenghou Tiong.
Cepat Lenghou Tiong mengegos, katanya dengan tertawa, “E-eh, bini pukul suami, ini namanya perempuan
jahat!”
Pada saat itulah tiba-tiba dari jauh terdengar suara-suara mendesing nyaring perlahan, Ing-ing kenal itu adalah
suara suitan penghubung antara sesama anggota Tiau-yang-sin-kau.
Ing-ing memberi tanda kepada Lenghou Tiong dengan beberapa gerak tangan, lalu mengajaknya berlari ke
arah datangnya suara suitan tadi.
Tidak jauh, tertampaklah seorang yang berdandan sebagai pelayan restoran berlari datang dari jurusan barat
sana. Tempat sekitar situ cukup lapang, tiada tempat baik untuk bersembunyi. Orang itu rada tercengang
ketika mendadak kepergok dengan Ing-ing.
Terpaksa orang itu memberi hormat kepada Ing-ing sambil menyapa, “Hu-hiangcu Ih Tiong dari Thian-hongtong
di dalam agama menyampaikan salam hormat kepada Seng-koh. Hidup Kaucu sepanjang masa, merajai
Kang-ouw sampai akhir zaman!”
Ing-ing mengangguk. Menyusul tertampak dari arah timur sana muncul pula seorang tua yang pendek kecil,
berbaju warna cokelat tua, dandanannya mirip hartawan kampungan. Dengan langkah cepat ia mendekati Inging
dan memberi hormat, katanya, “Cin Peng-hui menyampaikan sembah bakti kepada Seng-koh, semoga
Seng-koh hidup bahagia.”
“Engkau juga berada di sini, Cin-tianglo?” tanya Ing-ing, ia kenal baik Cin Peng-hui sebagai satu di antara
kesepuluh tianglo di dalam agama.
Dengan hormat Cin Peng-hui menjawab, “Hamba ditugaskan Kaucu mencari berita di sekitar sini. Ih-hiangcu,
adakah sesuatu berita yang kau peroleh?”
“Lapor Seng-koh dan Cin-tianglo,” tutur Ih Tiong, “pagi ini hamba ketemu dengan rombongan Ko-san-pay yang
berjumlah ratusan orang di bawah pimpinan putra Co Leng-tan yang bernama Co Hui-eng, katanya mereka
menuju ke Hoa-san.”
“Jadi benar-benar mereka menuju ke Hoa-san?” Cin Peng-hui menegas.
“Ada urusan apa orang-orang Ko-san-pay pergi ke Hoa-san?” sela Ing-ing.
“Menurut berita yang diperoleh Kaucu, kabarnya sejak Gak Put-kun menjabat ketua Ngo-gak-pay lantas ada
maksud memusuhi agama kita, akhir-akhir ini tampaknya sedang sibuk menghimpun anak murid dari Ngo-gakkiam-
pay untuk berkumpul di Hoa-san. Melihat gelagatnya ada kemungkinan mereka bermaksud menyerang
Hek-bok-keh kita secara besar-besaran,” tutur Cin Peng-hui.
“Betulkah demikian?” ujar Ing-ing, ia merasa sangsi jangan-jangan Cin Peng-hui yang tua dan kecil-kecil licin
ini sengaja mengelakkan tanggung jawab, padahal mungkin dia yang memimpin penangkapan anak murid
Hing-san-pay. Hanya apa yang dikatakan Ih Tiong tampaknya bukan pura-pura, agaknya di dalam persoalan ini
memang ada sesuatu persoalan. Segera Ing-ing berkata pula, “Lenghou-kongcu sendiri adalah ketua Hing-sanpay,
mengapa dia tidak tahu-menahu tentang apa yang kau katakan tadi, sungguh aneh.”
“Hamba mendapat keterangan bahwa anak murid Thay-san dan Heng-san-pay sudah menuju ke Hoa-san,
hanya pihak Hing-san-pay saja yang belum tampak bergerak,” tutur Cin Peng-hui. “Menurut perintah yang
kuterima dari Hiang-cosu kemarin, katanya Pau-tianglo dengan anak buahnya sudah menyusup ke paviliun
Hing-san untuk menyelidiki keadaan di sana, hamba diperintahnya menghubunginya di sekitar sini. Kini hamba
sedang menunggu berita dari Pau-tianglo.”
Ing-ing saling pandang sekejap dengan Lenghou Tiong dengan rada sangsi, bahwasanya Pau-tianglo menyusup
ke Hing-san memang tidak salah, Cin Peng-hui jelas tidak bohong dalam hal ini, lantas apa yang dia katakan
tadi apa memang betul semua?
Cin Peng-hui lantas memberi hormat kepada Lenghou Tiong dan minta maaf, “Hamba hanya melaksanakan
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
tugas saja, dari itu mohon Lenghou-ciangbun jangan marah.”
Lenghou Tiong membalas hormat dan berkata, “Tidak lama lagi aku dan Yim-siocia akan menikah....”
Mendengar itu, dengan muka merah Ing-ing sampai berseru kaget, ia tidak menyangka Lenghou Tiong akan
mengumumkan hal demikian di depan orang lain, tapi ia pun tidak membantahnya.
Maka Lenghou Tiong lantas melanjutkan, “Karena itu, sebagai orang muda sudah tentu kami ikut bertanggung
jawab terhadap perintah bapak mertua sebagaimana sedang dilaksanakan oleh Cin-tianglo sekarang.”
Dengan wajah gembira Cin Peng-hui dan Ih Tiong lantas mengucapkan selamat kepada Ing-ing dan Lenghou
Tiong berdua. Dengan jengah Ing-ing berjalan menyingkir ke sana.
Lalu Cin Peng-hui menutur pula, “Sering Hiang-cosu memberi pesan kepada hamba dan Pau-tianglo agar
jangan sekali-kali berlaku kasar terhadap anak murid Hing-san-pay, hanya boleh mencari berita saja, dilarang
main kekerasan, maka hamba pasti akan menurut perintah dengan taat.”
Sekonyong-konyong di belakang sana suara seorang perempuan menyela dengan tertawa, “Ilmu pedang
Lenghou-kongcu tiada tandingannya di dunia ini, bahwa Hiang-cosu suruh kalian jangan main kekerasan
sebenarnya adalah demi keselamatan kalian sendiri.”
Waktu Lenghou Tiong memandang ke sana, dari semak-semak pohon sana muncul seorang perempuan,
kiranya adalah Na Hong-hong, itu ketua Ngo-tok-kau yang cantik. “Eh, kiranya kau, Na-kaucu!” sapanya.
“Engkau baik-baik, Lenghou-kongcu,” Na Hong-hong juga menyampaikan salam kepada Lenghou Tiong. Habis
itu mendadak ia berpaling kepada Cin Peng-hui dan menegur, “Jika kau ingin menyapa padaku lekas silakan,
mengapa mesti pakai mengerut kening segala.”
“Ah, mana aku berani,” sahut Peng-hui. Ia tahu sekujur badan perempuan ini penuh benda berbisa, lebih baik
jangan direcoki. Segera ia mendekat Ing-ing dan berkata, “Cara bagaimana hamba harus bertindak selanjutnya
terhadap urusan di sini, mohon Seng-koh memberi petunjuk.”
“Lakukan saja sesuai perintah Kaucu,” sahut Ing-ing.
Cin Peng-hui mengiakan dengan hormat. Bersama Ih Tiong mereka lantas mohon diri.
Setelah ketua orang itu pergi, Na Hong-hong berkata kepada Lenghou Tiong, “Para nikoh Hing-san-pay telah
dibekuk orang, mengapa kalian tidak lekas pergi menolongnya?”
“Kami baru saja menyusul dari Hing-san, sepanjang jalan tidak tampak jejak musuh,” kata Lenghou Tiong.
“Jalan ini bukan jurusan ke Hoa-san, kalian telah kesasar,” ujar Na Hong-hong.
“Ke Hoa-san?” Lenghou Tiong menegas. “Jadi mereka ditawan ke Hoa-san? Kau sendiri melihatnya?”
“Di paviliun Hing-san kemarin aku merasa air teh yang kuminum rada aneh, aku pun diam saja tanpa
membongkar rasa curigaku itu, setelah orang-orang lain sama roboh aku pun pura-pura roboh tak sadarkan
diri,” tutur Na Hong-hong.
“Ya, memangnya, main racun terhadap Na-kaucu dari Ngo-sian-kau sama saja main kapak dengan tukang
kayu,” ujar Lenghou Tiong dengan tertawa.
Na Hong-hong tertawa senang, katanya, “Keparat-keparat itu memang rada-rada tidak tahu adat bukan?”
“Dan tidak kau balas mereka dengan beberapa cekokan racun pula?” tanya Lenghou Tiong.
“Masakah aku sungkan-sungkan kepada mereka? Tentu saja aku balas mereka secara kontan,” sahut Na Honghong.
“Eh, ada dua bangsat malah mengira aku benar-benar jatuh pingsan, mereka mendekati aku dan
bermaksud main gila dan menggerayangi tubuhku, kontan mereka kubinasakan dengan racun. Sisanya menjadi
ketakutan dan tidak berani mendekat, katanya aku sudah mati toh masih penuh racun.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Habis berkata ia pun tertawa geli.
“Kemudian bagaimana?” tanya Lenghou Tiong.
“Untuk mengetahui permainan apa yang akan mereka lakukan, aku tetap pura-pura tidak sadarkan diri,” tutur
Na Hong-hong. “Kemudian kawanan bangsat ini turun dari Kian-seng-hong dengan menculik satu rombongan
nikoh cilik, kulihat yang mengepalai kawanan bangsat ini adalah suhumu, Gak-siansing. Lenghou-toako,
tampaknya gurumu itu rada-rada tidak beres. Tempo hari waktu engkau menyelamatkan jiwaku di depan Siaulim-
si, jelas gurumu itu berhasrat membunuh kau. Kini engkau menjabat ketua Hing-san-pay, tapi dia malah
memimpin anak buahnya datang ke sini dan sekaligus menangkap sekian banyak nikoh bawahanmu, caranya
ini bukankah sengaja hendak memusuhi kau?”
Lenghou Tiong tidak menanggapinya, ia tahu Na Hong-hong adalah wanita suku Miau yang pada umumnya
berwatak polos, lugu, apa yang ingin dikatakannya segera diucapkan tanpa pikir.
“Melihat perbuatannya itu sungguh aku sangat gemas,” tutur Na Hong-hong pula. “Pada waktu itu juga aku
bermaksud meracun dia biar mampus. Tapi kemudian kupikir entah bagaimana pikiranmu terhadap gurumu itu,
andaikan perlu mampuskan dia rasanya juga tidak perlu terburu-buru, setiap saat dapat kulaksanakan.”
“Kau selalu mengingat akan diriku, aku harus berterima kasih padamu,” kata Lenghou Tiong.
“Ah, biasa,” ujar Na Hong-hong. “Kudengar pula percakapan mereka bahwa mumpung engkau tiada di atas
Hing-san, maka mereka harus lekas-lekas pergi agar tidak kepergok olehmu bila engkau pulang. Tapi ada lagi
yang berkata bahwa sayang engkau tiada di Hing-san, kalau ada dan sekaligus engkau ditawan pula, maka
bereslah segala urusan. Huh, enak saja mereka bicara!”
“Aku selalu didampingi oleh adikmu ini, rasanya tidaklah gampang jika mereka hendak menangkap diriku,” kata
Lenghou Tiong.
Na Hong-hong sangat senang, katanya dengan tertawa, “Boleh dikata beruntung bagi mereka, coba mereka
berani mengganggu seujung rambutmu, hm, sedikitnya akan kuracun mampus mereka seratus orang.”
Lalu ia berpaling kepada Ing-ing dan berkata, “Yim-toasiocia, janganlah engkau minum cuka (maksudnya
jangan cemburu), aku anggap Lenghou-toako seperti saudara sendiri saja.”
Wajah Ing-ing menjadi merah, ia pun tahu watak Na Hong-hong yang polos itu, dengan tersenyum ia
menjawab, “Lenghou-kongcu sendiri sering bicara padaku tentang dirimu, katanya engkau sangat baik
padanya.”
“Bagus sekali kalau begitu!” seru Na Hong-hong kegirangan. “Sebenarnya aku khawatir kalau-kalau dia tidak
berani menyebut namaku di hadapanmu.”
“Katanya kau pura-pura tak sadarkan diri, tapi mengapa bisa lolos dari cengkeraman mereka?” tanya Ing-ing.
“Lantaran takut kepada tubuhku yang beracun mereka tiada seorang pun yang berani menyentuh diriku,” tutur
Na Hong-hong pula. “Ada di antaranya menyarankan agar aku dibacok mati saja dengan golok, ada pula yang
mengusulkan membunuh aku dengan senjata rahasia, akan tetapi di mulut mereka bicara demikian, namun
tiada seorang pun yang berani turun tangan, lalu beramai-ramai mereka kabur. Aku telah mengikuti jejak
rombongan mereka, setelah yakin mereka menuju ke jurusan Hoa-san, segera aku berusaha mencari Lenghoutoako
untuk menyampaikan berita penting ini.”
“Sungguh aku harus berterima kasih padamu, kalau tidak ketemu kau, tentu kami akan kecelik menuju ke Hekbok-
keh,” kata Lenghou Tiong. “Sekarang urusan tidak boleh ditunda-tunda lagi, marilah kita lekas menyusul
ke Hoa-san.”
Begitulah mereka bertiga lantas membelok ke barat dan melanjutkan perjalanan kilat, tapi sepanjang jalan
ternyata tiada menampak sesuatu tanda yang mencurigakan.
Lenghou Tiong dan Ing-ing sama ragu-ragu dan heran, sepantasnya rombongan yang berjumlah ratusan orang
sepanjang jalan tentu meninggalkan jejak, mustahil tiada orang yang melihatnya kecuali kalau jalan yang
ditempuh bukanlah jalan ini.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Pada hari ketiga, di suatu rumah makan kecil diketemukan empat orang Heng-san-pay, yaitu murid angkatan
kedua yang belum pernah ikut hadir dalam pertemuan di Ko-san, maka mereka tidak kenal Lenghou Tiong dan
lain-lain, sebaliknya melihat dandanan mereka segera Lenghou Tiong kenal asal-usul mereka dan ternyata
tujuan mereka memang pergi ke Hoa-san. Diam-diam Lenghou Tiong mengikuti percakapan mereka. Bahkan
melihat kegembiraan mereka itu, agaknya di Hoa-san terdapat banyak harta karun yang sedang menunggu
kedatangan mereka untuk mengambilnya.
Terdengar seorang di antaranya berkata, “Syukur Wi-suheng sangat baik hati dan sudi mengirim kabar kepada
kita, untung juga kita berada di Holam sehingga masih sempat menyusul ke sana. Sedangkan para suheng dan
sute yang berada di Heng-san tentu tidak beruntung seperti kita.”
“Tapi kita juga jangan gembira lebih dahulu, paling penting kita harus menyusul selekasnya ke sana,” demikian
seorang lagi menanggapi. “Urusan demikian ini kukira setiap saat bisa terjadi perubahan.”
Lenghou Tiong menjadi sangat ingin tahu ada urusan apa yang begitu menarik sehingga keempat orang itu
begitu berhasrat menuju ke Hoa-san secara terburu-buru, tapi keempat orang itu sama sekali tidak
menyinggung soal yang dimaksudkan mereka itu.
“Apakah perlu robohkan mereka dengan racun untuk dimintai keterangan?” tanya Na Hong-hong kepada
Lenghou Tiong.
Tapi mengingat kebaikan Bok-taysiansing, Lenghou Tiong merasa tidak pantas membikin susah anak muridnya,
maka jawabnya, “Kukira kita tidak perlu ganggu mereka, asalkan kita lekas berangkat ke Hoa-san dan tentu
akan mengetahui persoalannya.”
Na Hong-hong mengiakan, segera mereka melanjutkan perjalanan mendahului keempat murid Heng-san-pay
itu.
Beberapa hari kemudian, sampailah mereka di kaki gunung Hoa-san. Saat itu hari sudah magrib, namun
Lenghou Tiong yang dibesarkan di pegunungan itu sudah tentu sangat hafal keadaan setempat, katanya,
“Marilah kita naik ke atas melalui jalan kecil di belakang gunung, tentu takkan ketemu orang lain.”
Hoa-san terkenal paling curam di antara kelima gunung (ngo-gak), jalan kecil di belakang gunung lebih-lebih
terjal dan sukar didaki. Syukur ilmu silat ketiga orang sama-sama tinggi, tebing yang terjal bukan rintangan
bagi mereka, walaupun begitu ketika mereka mencapai puncak Hoa-san tertinggi sementara itu pun sudah
lewat tengah malam.
Lenghou Tiong membawa kedua temannya langsung menuju ke ruangan besar, keadaan di situ ternyata gelap
gulita, mereka coba pasang kuping, keadaan pun sunyi senyap. Waktu mendatangi tempat tinggal para murid
Hoa-san-pay, di situ juga kosong melompong. Ketika Lenghou Tiong menyalakan geretan api, kamar yang
kosong itu penuh debu, beberapa kamar yang diperiksa semuanya serupa, hal ini menandakan anak murid
Hoa-san-pay sudah lama tidak pulang ke Hoa-san.
Na Hong-hong menjadi kikuk karena tidak sesuai dengan laporannya, katanya, “Apa barangkali aku tertipu oleh
kawanan bangsat itu? Mereka bilang datang ke Hoa-san sini, tapi sebenarnya menuju ke tempat lain?”
Lenghou Tiong juga merasa sangsi dan khawatir, teringat olehnya kejadian menyerbu Siau-lim-si dahulu, waktu
itu mereka pun menyerbu tempat kosong, lalu menghadapi bahaya, jangan-jangan Gak Put-kun kembali
menggunakan tipu muslihat lama itu? Tapi sekarang mereka hanya bertiga, umpama masuk perangkap juga
gampang untuk meloloskan diri, yang dikhawatirkan adalah para anak murid Hing-san-pay itu, jangan-jangan
mereka dikurung di suatu tempat yang dirahasiakan dan sukar lagi diketemukan mengingat sudah sekian hari
mereka digiring kemari.
“Coba kita memencarkan diri untuk mencarinya, satu jam lagi kita berkumpul kembali di sini,” kata Na Honghong.
Lenghou Tiong setuju akan usul itu, ia pikir kepandaian menggunakan racun Na Hong-hong teramat lihai, tentu
tiada seorang pun yang sanggup menghadapi dia, tapi ditambahkan pesan pula, “Orang lain tidak kau takuti,
tapi bila ketemu guruku hendaklah kau hati-hati terhadap gerak pedangnya yang cepat luar biasa.”
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Na Hong-hong menjadi terharu mendengar pesan yang penuh simpatik itu, jawabnya, “Baiklah Toako, aku
tahu.”
Lalu ia keluar dari ruangan itu dan memisahkan diri.
Lenghou Tiong bersama Ing-ing memeriksa lagi ke beberapa tempat lain, sampai-sampai tempat tinggal pribadi
Gak Put-kun di Thian-kim-kiap juga diselidiki, namun tetap tiada seorang pun diketemukan.
“Keadaan ini sungguh mengherankan,” kata Lenghou Tiong kepada Ing-ing, “biasanya kalau orang-orang Hoasan-
pay kami turun gunung, sedikitnya tertinggal beberapa orang sebagai penjaga rumah, mengapa sekarang
tiada seorang pun yang tinggal di sini?”
Paling akhir mereka mendatangi tempat tinggal Gak Leng-sian yang terletak di sebelah Thian-kim-kiap, jadi
berdampingan tidak jauh dari tempat tinggal Gak Put-kun.
Sampai di depan pintu, Lenghou Tiong menjadi terharu dan mencucurkan air mata mengenangkan masa
kecilnya yang selalu bermain bersama sumoay cilik itu, namun sekarang sang sumoay sudah meninggal untuk
selamanya.
Ia coba mendorong pintu, ternyata dipalang dari dalam. Ing-ing lantas melompati pagar dan membuka palang
pintu. Mereka masuk ke ruangan dalam dan menyalakan lilin yang terdapat di atas meja. Keadaan ruangan
kamar itu pun kosong melompong dan penuh debu, bahkan perabot yang pantas di kamar anak perempuan
juga tiada terdapat satu pun. Padahal Siausumoay belum lama menikah dengan Lim-sute, apa barangkali
mereka mempunyai kamar pengantin baru lain dan tidak tinggal lagi di sini? Demikian pikir Lenghou Tiong.
Ia coba periksa laci meja, di dalam laci banyak tersimpan mainan anak-anak sebangsa boneka, binatangbinatang
kecil dari kayu, gundu, dan lain-lain, itulah mainan yang pernah mereka gunakan dahulu di waktu
kecil, semuanya masih tersimpan baik-baik di situ. Lenghou Tiong menjadi pedih teringat kepada masa lalu dan
masa kini, siausumoaynya kini sudah berada di alam baka, tanpa terasa ia mencucurkan air mata pula.
Agar Lenghou Tiong tidak lebih berduka, Ing-ing memadamkan api lilin dan mengajaknya keluar. Katanya
kemudian, “Engkoh Tiong, di atas Hoa-san ini ada suatu tempat yang besar kepentingannya dalam hidupmu,
maukah kau membawa aku ke sana?”
“O, yang kau maksudkan adalah Su-ko-keh (karang dosa),” kata Lenghou Tiong. “Baiklah, marilah kita ke
sana.”
Segera ia mendahului jalan di depan dan menuju ke puncak karang, di mana dahulu ia pernah dihukum
menyendiri oleh gurunya. Karena jalanan sudah hafal, meski letak puncak itu di belakang gunung dan jaraknya
tidak dekat, namun tiada seberapa lama sampailah mereka di situ.
Setiba di atas puncak itu, sambil gandeng tangan Ing-ing berkatalah Lenghou Tiong, “Aku pernah tinggal di gua
ini....” baru sekian bicaranya, tiba-tiba terdengar suara “creng-creng” dua kali, dari dalam gua
mengumandangkan suara benturan senjata yang nyaring.
Keruan mereka terkejut, cepat mereka memburu ke depan gua, menyusul lantas terdengar jeritan orang,
agaknya terluka, mereka kenal suara itu seperti suara Bok-taysiansing dari Heng-san-pay.
“Seperti suara Bok-supek, marilah kita lekas masuk melihatnya,” kata Lenghou Tiong.
Segera mereka melolos senjata dan berlari masuk ke dalam gua. Bagian depan gua tiada terdapat orang, tapi
lorong yang menembus ke dalam gua sana tertampak ada cahaya api.
Lantaran mengkhawatirkan keselamatan Bok-taysiansing, tanpa pikir Lenghou Tiong terus melompat ke dalam
sana, tapi ia menjadi tertegun dan hati tergetar, tertampak di dalam gua itu terang benderang oleh berpuluhpuluh
obor, sedikitnya ada ratusan orang sedang asyik memandangi gerak ilmu silat yang terukir di dinding gua
itu. Karena asyik benar perhatian semua orang itu kepada ukiran di dinding sehingga suasana menjadi sunyi
senyap.
Ketika mendengar jeritan ngeri Bok-taysiansing tadi, Lenghou Tiong dan Ing-ing membayangkan bila mereka
menerjang ke dalam gua, keadaan di dalam gua yang akan mereka saksikan kalau tidak gelap gulita tentu
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
adalah pertarungan mati-matian dan banjir darah. Siapa tahu sekarang keadaan di dalam gua ternyata terang
benderang, bahkan penuh berdiri orang dan sedang memandangi ukiran dinding dengan asyiknya.
Bagian belakang gua itu agak luas, meski berdiri ratusan orang masih kelihatan ada tempat luang, hanya saja
orang sebanyak itu berdiri bungkam sebagai mayat hidup, tampaknya menjadi seram.
Ing-ing coba berdiri merapat Lenghou Tiong. Melihat air muka si nona rada pucat dan menunjuk rasa takut,
perlahan-lahan Lenghou Tiong merangkul pinggangnya.
Dari dandanan ratusan orang yang berbeda-beda itu, sedikit diperhatikan segera dapat diketahui mereka terdiri
dari anak murid Ko-san-pay, Thay-san-pay, dan Heng-san-pay. Di antaranya adalah orang tua yang sudah
beruban, ada pula orang muda yang masih gagah perkasa. Jelas banyak tokoh-tokoh terkemuka dari ketiga
aliran itu pun ikut hadir di sini, hanya anak murid Hoa-san-pay dan Hing-san-pay tidak tampak berada di situ.
Sedikit memikir Lenghou Tiong lantas paham persoalannya. Orang-orang ketiga aliran itu sama-sama sedang
memandangi ukiran dinding, tapi mereka berkelompok di antara golongannya sendiri-sendiri, tidak bercampur
aduk. Orang Ko-san-pay memandangi gerak ilmu pedang Ko-san-kiam-hoat yang terukir di dinding, begitu pula
orang-orang Thay-san-pay dan Heng-san-pay juga asyik mengikuti gerak tipu ilmu silat golongan masingmasing
yang terukir itu.
Tiba-tiba Lenghou Tiong ingat kepada percakapan keempat murid Heng-san-pay yang diketemukan di rumah
makan kecil dalam perjalanan itu, katanya mereka mendapat berita penting dan buru-buru menyusul ke Hoasan
sini, yang mereka maksudkan tentunya adalah berita tentang diketemukannya ilmu pedang mukjizat yang
terukir di dinding gua Hoa-san ini.
Lenghou Tiong coba pandang sekeliling situ, ternyata tiada tampak Bok-taysiansing, di dalam gua juga tiada
tanda-tanda baru terjadi pertarungan, akan tetapi suara benturan senjata dan jeritan ngeri tadi sekali-kali
bukan salah dengar, jangan-jangan Bok-taysiansing dicelakai di bagian belakang gua sana?
Untuk mencapai jalan belakang gua harus menyusuri orang banyak itu, di antara orang-orang itu hanya orangorang
Heng-san-pay tidak bermusuhan dengan Lenghou Tiong, sedangkan orang-orang Thay-san-pay dan Kosan-
pay besar kemungkinan akan mempersulit padanya. Apalagi kalau Ing-ing dikenali mereka, tentu akan
menimbulkan persoalan. Segera ia berkata kepada Ing-ing dengan suara tertahan, “Kau tunggu saja di sini,
biar kumasuk ke sana untuk melihatnya.”
Ing-ing mengangguk. Meski suara Lenghou Tiong sangat perlahan, namun dalam suasana yang sunyi senyap
itu suaranya tetap terdengar oleh orang lain, serentak beberapa orang menoleh dan melotot padanya. Namun
orang-orang itu segera berpaling kembali untuk mengikuti ukiran di dinding pula, agaknya ajaran ilmu silat
yang terukir itu besar sekali daya tariknya.
Dengan langkah perlahan Lenghou Tiong menyelinap di tengah orang banyak itu, semula ia pun kebat-kebit,
khawatir timbul keonaran, tapi demi teringat bahwa ilmu silat yang terukir itu cukup dipahaminya, betapa pun
juga bukan tandingan Tokko-kiu-kiam yang telah diyakinkannya dengan masak, segera semangatnya
terbangkit, hatinya menjadi mantap dan melangkah maju dengan tabah.
Sekonyong-konyong terdengar seorang di belakangnya membentak, “Kau bukan murid Ko-san-pay, mengapa
kau mengikuti ukiran dinding ini?”
Bab 135. Pergulatan Antara Mati dan Hidup di Dalam Gua
Waktu Lenghou Tiong berpaling, dilihatnya seorang tua berbaju kuning sedang melotot kepada seorang laki-laki
jangkung pertengahan umur, bahkan sambil mengacungkan ujung pedangnya ke dada si jangkung.
Tapi si jangkung telah menjawab dengan tertawa, “Bilakah aku memandangi ukiran yang kau katakan itu?”
“Kau berani menyangkal?” damprat orang tua itu. “Mendingan jika kau cuma ingin mencuri ilmu pedang Kosan-
pay kami, tapi mengapa kau memandangi gerak tipu silat yang khusus digunakan untuk membobol ilmu
pedang Ko-san-pay kami?”
Lenghou Tiong tahu dinding gua itu terukir macam-macam ilmu silat Ngo-gak-kiam-pay yang hebat, selain itu
juga terukir cara mematahkan ilmu silat kelima aliran itu, yaitu ukiran yang sengaja dibuat oleh kesepuluh MoDimuat
di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
kau-tianglo (tokoh-tokoh tua Mo-kau), semuanya merupakan ilmu silat yang khas untuk mengalahkan ilmu
pedang Ngo-gak-kiam-pay itu. Jadi kalau ada orang sengaja mengikuti ilmu silat yang khas untuk mengalahkan
ilmu pedang Ngo-gak-kiam-pay itu, dengan sendirinya orang-orang kelima aliran itu tak bisa terima, termasuk
di antaranya orang-orang Ko-san-pay.
Begitulah, karena bentakan orang tua itu, serentak beberapa orang Ko-san-pay yang lain mengepung si
jangkung di tengah dengan senjata terhunus.
“Sama sekali aku tidak paham akan ilmu pedang kalian, andaikan aku memandang ukiran cara mengalahkan
ilmu pedang kalian juga tiada gunanya,” demikian si jangkung berusaha membela diri.
“Pendek kata, dengan memandangi ukiran dinding ini tentu pula kau tidak punya niat baik,” kata kakek dengan
bengis.
“Tapi ketua Ngo-gak-pay, Gak-siansing, telah sudi mengundang kita ke sini untuk memandang berbagai ilmu
pedang yang terukir di dinding ini, beliau tidak pernah menetapkan bagian mana yang boleh dilihat dan bagian
mana dilarang melihat,” sahut si jangkung dengan siap siaga.
“Jelas kau tidak punya maksud baik terhadap Ko-san-pay kami dan hal ini tak dapat kami biarkan,” kata si
kakek.
“Ngo-gak-kiam-pay telah dilebur menjadi satu, yang ada kini hanya Ngo-gak-pay, mana ada Ko-san-pay pula?”
sahut si jangkung dengan angkuh. “Bila Ngo-gak-kiam-pay tidak terlebur menjadi satu masakah Gak-siansing
mengizinkan kita semua ini terobosan di dalam gua Hoa-san sini, apalagi untuk mendalami ilmu pedang yang
terukir ini.”
Jawaban ini membikin si kakek menjadi bungkam. Mendadak seorang murid Ko-san-pay mendorong keras
pundak belakang si jangkung sambil membentak, “Mulutmu memang pintar bicara ya?”
Sekonyong-konyong tangan si jangkung membalik sehingga pergelangan murid Ko-san-pay itu kena digaet
terus disengkelit, kontan murid Ko-san-pay itu terbanting jatuh.
Pada saat itulah terdengar di tengah orang-orang Thay-san-pay juga ada orang membentak, “Siapa kau?
Berani kau memakai serangan Thay-san-pay kami dan mencampurkan diri di sini untuk mencuri lihat Thay-sankiam-
hoat yang terukir di dinding ini?”
Menyusul itu tertampak seorang muda berbaju seragam Thay-san-pay berlari cepat keluar, namun segera ia
diadang oleh seorang sambil membentak, “Berhenti! Siapa kau, berani kau mengacau di sini?”
Anak muda itu tidak menjawab, tapi pedangnya terus menusuk sambil menerjang ke depan. Tapi si pengadang
mengegos sambil mencolok kedua mata lawan. Terpaksa si anak muda melompat mundur. Namun si
pengadang lantas memburu maju, kembali tangannya menjulur ke depan untuk menyerang kedua mata lawan.
Lantaran diserang dari dekat, pedang si anak muda sukar digunakan menangkis, terpaksa ia melompat mundur
lagi. Segera si pengadang menyapu dengan sebelah kakinya, untung si anak muda keburu meloncat ke atas.
Tapi tidak urung dadanya terkena pukulan, “bluk”, kontan ia terguling dan muntah darah. Dari belakang dua
murid Thay-san-pay telah memburu maju dan membekuknya.
Sementara itu di sebelah sana si jangkung sudah terkepung oleh empat-lima orang murid Ko-san-pay dan
sedang diserang dengan gencar. Ilmu pedang si jangkung tampaknya sangat lihai, tapi jelas bukan orang dari
Ngo-gak-kiam-pay.
Serentak beberapa orang Ko-san-pay yang menonton di pinggir berteriak, “Keparat ini bukan orang Ngo-gakkiam-
pay kita, tapi mata-mata musuh yang ikut menyusup ke sini.”
Karena terjadi pertempuran dua kelompok, seketika suasana di dalam gua yang tadinya sunyi senyap, berubah
menjadi kacau-balau.
Dalam keadaan ribut itu Lenghou Tiong pikir adalah kesempatan baik baginya untuk mencari Bok-taysiansing.
Segera ia menyelinap maju lagi ke lorong sana, tapi baru beberapa langkah, tiba-tiba terdengar suara gemuruh
yang keras laksana gugur gunung dahsyatnya. Banyak orang sama menjerit kaget dan takut.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Lenghou Tiong terkejut, cepat ia putar balik, dilihatnya debu pasir bertebaran di dalam gua itu, ia tidak pikirkan
buat mencari Bok-taysiansing lagi, tapi yang perlu segera didampingi adalah Ing-ing. Akan tetapi suasananya
telah berubah menjadi kacau, orang-orang berlari serabutan, senjata menyambar tak kenal arah, yang
kelihatan hanya debu pasir belaka, di mana Ing-ing waktu itu tak kelihatan lagi.
Sekuatnya Lenghou Tiong berdesak-desakan di tengah orang banyak, beberapa kali ia harus berkelit dan
menghindari serangan senjata yang entah datang dari mana. Ketika ia dapat mencapai mulut gua, maka
mengeluhlah dia, mulut gua itu sudah merapat tertutup oleh sepotong batu yang beratnya entah berapa puluh
ribu kati, jadi pintu gua itu telah tersumbat menjadi buntu, sekilas itu ia tidak melihat sesuatu lubang keluarmasuk
pada mulut gua tadi.
“Ing-ing! Ing-ing! Di mana kau?” seru Lenghou Tiong.
Sayup-sayup ia seperti mendengar Ing-ing menyahutnya satu kali di kejauhan, suaranya seperti datang dari
ujung masuk lorong tadi, hanya saja sukar dibedakan dengan jelas karena terganggu oleh suara ribut beratusratus
orang itu.
Ia merasa heran mengapa Ing-ing bisa berada di ujung lorong sana? Tapi setelah dipikir lagi segera ia pun
paham duduknya perkara, tentunya waktu batu raksasa penyumbat gua itu dijatuhkan ke bawah, Ing-ing yang
mestinya dapat melarikan diri tidak mau meninggalkan diriku. Ketika aku menerjang balik untuk mencarinya,
dia juga menerjang ke sana untuk mencari aku.
Karena itu, segera Lenghou Tiong putar balik lagi ke mulut lorong belakang gua tadi.
Dalam keadaan kacau-balau karena jalan keluar tersumbat oleh batu raksasa, beberapa puluh obor yang
berada di dalam gua tadi ada sebagian besar dibuang oleh yang memegang dan sebagian pula menjadi padam,
ditambah lagi debu pasir memenuhi gua itu, pemandangan menjadi remang-remang seperti berkabut tebal.
“Gua tersumbat! Gua tersumbat!” demikian orang-orang itu berteriak khawatir beramai-ramai.
“Tentu tipu muslihat si keparat Gak Put-kun itu!” teriak pula seorang dengan murka.
“Benar!” seorang lagi menanggapi dengan mengertak gigi. “Bangsat itu memancing kita ke sini untuk melihat
ilmu pedang neneknya....”
Begitulah beberapa puluh orang beramai-ramai hendak mendorong batu raksasa itu, tapi batu itu laksana
sebuah bukit, sedikit pun tidak bergerak meski beberapa puluh orang itu mendorong sepenuh tenaga dan
terkentut-kentut.
“Lekas! Lekas keluar melalui lorong belakang sana!” terdengar orang berteriak pula.
Sebelumnya memang sudah ada orang lain berpikir demikian, likuran orang sudah berbondong-bondong lari ke
sana dan berjubel-jubel memenuhi ujung lorong bawah tanah itu. Padahal lorong yang digali oleh kapak salah
seorang gembong Mo-kau yang terkurung di gua itu hanya tiba cukup dilalui satu orang saja, kini likuran orang
berjubelan di situ dan berebut dulu, tentu saja sukar dimasuki lubang sekecil itu. Dan karena keributan itu,
kembali belasan obor menjadi padam lagi.
Di tengah orang banyak itu ada dua laki-laki kekar telah mendesak maju sekuatnya dengan menyisihkan
orang-orang lain, mereka terus menyusup maju ke mulut lorong. Tapi mulut lorong itu sangat sempit, lantaran
kedua orang juga berebut duluan, “blang”, keduanya sama-sama benjut terbentur dinding, tiada seorang pun
yang mampu masuk lubang lorong itu.
Tiba-tiba laki-laki sebelah kanan ayun tangannya, kontan laki-laki sebelah kiri menjerit ngeri, dadanya
tertancap oleh sebilah belati, menyusul laki-laki sebelah kanan mendorongnya minggir, dengan cepat ia sendiri
lantas menerobos ke dalam lubang itu disusul oleh yang lain-lain secara dorong-mendorong dan tarik-menarik,
masing-masing sama berebut menyelamatkan diri lebih dulu.
Maklumlah, jalan keluar gua itu sudah tersumbat buntu, kini tinggal sebuah lubang penyelamat saja dan tiada
jalan keluar lain, dengan sendirinya setiap orang ingin berusaha keluar lebih dulu dari gua maut itu. Biarpun di
dinding gua itu terukir berbagai ilmu pedang yang bagus, tapi kalau mati konyol di dalam gua, betapa pun
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
bagusnya ilmu silat itu juga tiada gunanya.
Tiba-tiba ada orang menjerit kaget, “Tulang orang mati! Tulang orang mati!”
Menyusul tangan seorang mengacungkan sekerat tulang paha orang mati, dalam keadaan remang-remang
tampaknya menjadi seram dan mendirikan bulu roma.
Karena kehilangan Ing-ing, Lenghou Tiong sedang cemas dan khawatir, ketika mendengar teriakan orang itu, ia
tahu tulang itu adalah kerangka tulang gembong-gembong Mo-kau yang mati di dalam gua itu. Terkilas suatu
pikiran dalam benaknya, “Kesepuluh tokoh Mo-kau itu sia-sia saja memiliki ilmu silat setinggi langit, nyatanya
mereka juga terjebak dan terkubur di dalam gua ini, jangan-jangan nasib buruk demikian juga akan menimpa
diriku dan Ing-ing sekarang? Bila kejadian ini memang sengaja diatur oleh suhuku, maka jadinya benar-benar
sangat berbahaya.”
Dilihatnya orang banyak sedang berdesakan di mulut lorong, saking gelisahnya mendadak timbul pikiran
membunuh dalam benak Lenghou Tiong, pikirnya, “Orang-orang ini hanya menghalang-halangi saja, mereka
harus dibinasakan semua barulah aku dan Ing-ing dapat lolos dengan selamat.”
Segera ia pegang pedang dan bermaksud membunuh orang yang paling dekat di sebelahnya, tiba-tiba
dilihatnya seorang pemuda menjambak-jambak rambut sendiri dengan badan gemetar dan muka pucat,
tampaknya ketakutan setengah mati, seketika timbul pula rasa kasihan dalam benak Lenghou Tiong, pikirnya,
“Aku dan dia adalah kawan senasib yang terjebak oleh perangkap musuh, seharusnya aku bahu-membahu
bersama dia untuk mencari jalan keluar, mana boleh aku membunuh dia untuk mencari selamat sendiri?”
Karena itu pedang yang sudah dilolos setengah itu segera dimasukkan kembali ke dalam sarungnya.
Dalam pada itu terdengar orang-orang itu sedang berteriak-teriak, “Hayo, lekas masuk ke sana, lekas!”
“He, kenapa diam saja, lekas merangkak ke depan!”
Lalu beberapa orang yang tidak sabar lantas mencaci maki, “Keparat, kenapa diam saja, apa kau sudah
mampus di situ?”
“Tarik saja, tarik kembali saja!”
Ternyata laki-laki kekar tadi belum lagi menerobos masuk lubang lorong sejak tadi, kedua kakinya masih
ketinggalan di sebelah kiri, agaknya dia juga menghadapi jalan buntu di sebelah sana, hanya saja tidak mau
mundur kembali.
Dua orang yang berteriak-teriak tadi benar-benar tidak sabar lagi, mereka masing-masing membetot sebelah
kaki laki-laki itu terus ditarik sekuatnya. Mendadak berpuluh orang menjerit berbareng, yang terbetot kembali
ternyata sesosok tubuh yang sudah tak berkepala lagi, pada leher tubuh tak berkepala itu masih
menyemburkan darah segar, kepala laki-laki kekar itu ternyata sudah dipenggal orang di dalam lorong sana.
Pada saat itulah Lenghou Tiong melihat di sudut gua sana berduduk satu orang, di bawah cahaya obor yang
remang-remang samar-samar seperti Ing-ing adanya. Saking girangnya ia terus berlari ke sana, tapi baru
beberapa langkah ia lantas tertumbuk pada gerombolan orang banyak. Sekuatnya Lenghou Tiong mendesak
dan menghalau, namun keadaan orang-orang itu sudah panik dan kacau, mereka sudah kehilangan pikiran
sehat, seperti orang kalap saja mereka menerjang kian-kemari tak menentu, ada yang putar senjatanya
menyerang serabutan, ada yang berteriak-teriak seperti orang gila, ada yang bergumul tak mau lepas, ada
yang merangkak-rangkak di atas tanah sambil mengerang-erang.
Baru saja Lenghou Tiong melangkah dua-tiga tindak lagi segera kedua kakinya kena dirangkul orang. Ia tabok
satu kali di atas kepala orang itu, kontan orang itu menjerit kesakitan, tapi bukannya lepaskan rangkulannya,
bahkan memeluk terlebih kencang.
“Lepaskan, kalau tidak segera kubunuh kau!” bentak Lenghou Tiong.
Tapi mendadak betisnya terasa sakit, rupanya digigit orang itu. Terkejut dan gusar pula Lenghou Tiong,
dilihatnya keadaan orang-orang itu sudah seperti gila semua, obor di dalam gua semakin sedikit, kini tinggal
dua batang obor saja yang masih menyala, malahan tidak dipegang orang, tapi jatuh di tanah.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Ambil obor itu, ambil obor itu, lekas!” seru Lenghou Tiong.
Namun seorang tojin gemuk terbahak-bahak sambil angkat sebelah kakinya, kontan sebatang obor itu
diinjaknya hingga padam. Tanpa pikir lagi Lenghou Tiong lolos pedangnya, sekali tebas ia bikin tubuh orang
yang merangkul kedua kakinya itu kutung menjadi dua. Sekonyong-konyong pandangannya menjadi gelap,
segala apa tidak tertampak lagi. Rupanya api obor yang terakhir kini pun sudah padam.
Begitu obor padam seluruhnya, suasana dalam gua seketika menjadi sunyi pula, semuanya kebingungan oleh
perubahan yang mendadak ini, sekejap kemudian, kembali keributan terjadi, orang-orang itu berteriak-teriak
dan menjerit-jerit laksana orang gila semua.
“Keadaan demikian jelas tiada harapan bisa keluar dengan hidup, syukurlah aku dapat mati bersama Ing-ing,”
terpikir demikian, daripada takut, sebaliknya Lenghou Tiong menjadi senang malah, ia coba menggeremet maju
menuju ke tempat Ing-ing tadi.
Tapi baru beberapa langkah, mendadak dari samping ada orang berlari dan menumbuknya dengan keras.
Rupanya tenaga dalam orang itu sangat kuat, tumbukannya keras pula sehingga Lenghou Tiong keseruduk
mundur dan hampir jatuh terduduk. Syukur ia masih keburu menahan tubuhnya dan memutar kembali, segera
ia merembet lagi ke tempat Ing-ing berduduk tadi. Apa yang terdengar olehnya hanya suara jerit tangis dan
bentakan melulu disertai suara nyaring benturan berpuluh senjata.
Dalam keadaan gelap gulita, semua orang menjadi bingung dan gelisah, hampir semuanya sudah setengah gila
ingin mencari selamat sendiri-sendiri. Ada yang bisa berpikir panjang dan berhati sabar, tapi menghadapi
sambaran senjata orang lain yang setiap saat bisa mampir di atas tubuhnya, maka terpaksa ia pun putar
senjata untuk menjaga diri, jalan lain tidak ada kalau ingin selamat.
Dari itu yang terdengar hanya suara benturan senjata yang riuh dan jerit teriak ngeri tak terputus-putus,
menyusul ada orang merintih kesakitan dan mencaci maki, terang banyak di antaranya telah terluka oleh
serangan ngawur dari kawan sendiri.
Menghadapi keadaan begitu, biarpun ilmu pedang Lenghou Tiong lebih tinggi lagi juga tak berdaya, setiap saat
ia pun dapat terluka oleh serangan yang sukar diketahui dari mana datangnya.
Tiba-tiba tergerak pikirannya, segera ia pun lolos pedang dan diputarnya dengan kencang untuk melindungi
badan bagian atas, selangkah demi selangkah ia menggeser ke dinding gua, asalkan dinding gua bisa teraba,
dengan jalan mepet dinding tentu akan banyak terhindar bahaya-bahaya yang mengancam. Orang yang
dilihatnya seperti Ing-ing tadi berduduk di sudut sana, bila merembet dinding ke sana akhirnya tentu dapat
bergabung lagi dengan si nona.
Dari tempat berdiri Lenghou Tiong itu ke dinding gua sebenarnya cuma belasan meter saja jaraknya, akan
tetapi terhalang oleh lautan senjata itu terpaksa ia harus hati-hati kalau tidak mau lekas masuk kubur.
“Jika mati di bawah pedang seorang tokoh persilatan akan terasa rela dan berharga bagiku, tapi keadaan
sekarang dapat mati secara mendadak tanpa diketahui siapa dan bagaimana caranya menyerang, bisa jadi
yang membinasakan aku hanyalah seorang keroco kelas kambing dunia persilatan, sungguh, menghadapi
keadaan demikian, sekalipun Tokko-tayhiap hidup kembali pasti juga akan mati kutu dan tak berdaya,”
demikian pikir Lenghou Tiong.
Teringat kepada Tokko Kiu-pay, itu tokoh yang menciptakan Tokko-kiu-kiam, sembilan gerak tipu ilmu pedang
yang mukjizat, seketika pikirannya menjadi terang, “Ya, keadaan sekarang hanya ada dua pilihan, aku
terbunuh secara tak jelas siapa pembunuhnya atau aku juga membunuh orang lain secara ngawur. Lebih
banyak seorang yang kubunuh berarti mengurangi bahaya yang mengancam jiwaku sendiri.”
Segera ia putar pedangnya, ia mainkan gerak tipu “Boh-ci-sik” (cara mematahkan serangan senjata rahasia)
dari Tokko-kiu-kiam, berturut-turut ia menyabet ke kanan-kiri dan muka-belakang.
Gerak pedang “Boh-ci-sik” ini sedemikian tepat dan rapatnya, sekalipun terjadi hujan senjata rahasia juga
sukar untuk mengenai tubuhnya.
Begitulah, sekali pedangnya bergerak, kontan beberapa orang di dekatnya menjerit, menyusul pedangnya
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
terasa menusuk tubuh seorang pula, dari suara jeritannya yang tertahan kedengaran adalah suara orang
perempuan.
Keruan Lenghou Tiong terkejut, tangannya menjadi lemas dan pedang hampir-hampir terlepas dari cekalan.
“Jangan-jangan dia Ing-ing, apa barangkali aku telah membunuh Ing-ing!” demikian hatinya menjadi tidak
tenteram. Segera ia berteriak, “Ing-ing, Ing-ing! Apakah kau ini?”
Akan tetapi perempuan itu sudah tak bersuara lagi. Sebenarnya Lenghou Tiong sangat hafal suaranya Ing-ing,
apakah jeritan tertahan tadi suara Ing-ing atau bukan mestinya sangat gampang dibedakan. Tapi lantaran
suasana di dalam gua sedemikian kacaunya, keadaan hiruk-pikuk dan riuh gemuruh, jeritan perempuan tadi
juga sangat perlahan, saking cemasnya ia menjadi rada linglung dan merasa suara itu seperti suaranya Inging.
Ia coba memanggil lagi beberapa kali dan tetap tidak mendapatkan jawaban, ia coba berjongkok untuk meraba
lantai. Tak terduga, entah dari mana datangnya, sekonyong-konyong pantatnya kena ditendang orang. Kontan
Lenghou Tiong mencelat ke sana, selagi tubuhnya terapung di udara, paha kiri terasa kesakitan pula, kembali
kena disabet oleh ruyung seorang.
Dengan sebelah tangan mendekap kepalanya, “bluk”, tahu-tahu kepala membentur dinding batu, untung
sebelumnya kepalanya telah dilindungi tangan, kalau tidak kepalanya bisa pecah. Walaupun begitu, baik kepala
maupun tangan, paha dan pantat, semuanya kesakitan, tulang serasa retak.
Setelah tenangkan diri, kembali ia berseru memanggil, “Ing-ing! Ing-ing!”
Namun tiada sesuatu jawaban, sebaliknya suara sendiri kedengaran sudah serak seakan-akan suara orang
merintih dan menangis tak berair mata.
Tak terkatakan rasa cemas dan sedihnya, mendadak ia berteriak, “Aku telah membunuh Ing-ing! Akulah yang
membunuh Ing-ing!”
Dengan kalap ia putar pedangnya dan menerjang maju, kontan beberapa orang terguling menjadi korban.
Di tengah suara yang ribut itu, tiba-tiba terdengar suara “creng-creng” dua kali, suara kecapi yang nyaring.
Meski suara kecapi itu sangat lirih, tapi dalam pendengaran Lenghou Tiong benar-benar menggetar sukma
laksana halilintar menggelegar.
“Ing-ing! Ing-ing!” ia berteriak saking girangnya, karena dorongan hati itu, seketika ia bermaksud menerjang
ke arah suara kecapi itu. Tapi segera ia menginsafi bahwa tempat suara kecapi itu jaraknya cukup jauh, untuk
mendekati tempat yang berjarak belasan meter itu rasanya jauh lebih berbahaya daripada berkelana beriburibu
li di dunia Kang-ouw.
Suara kecapi itu terang dipetik oleh Ing-ing. Kalau dia masih selamat, aku sendiri mana boleh menempuh
bahaya dan mati konyol, bila kami berdua tak dapat mati bersama secara tangan bergandeng tangan, maka
akan menyesal tak terhingga biarpun di akhirat nanti.
Segera Lenghou Tiong mundur dua tindak agar punggung mepet dinding, ia anggap tempat demikian jauh lebih
aman daripada berdiri di tempat terbuka. Tiba-tiba terasa angin menyambar, ada orang putar senjata
menerjang tiba. Tanpa pikir Lenghou Tiong menusuk dengan pedangnya, tapi baru pedangnya bergerak, ia
merasa tindakannya itu keliru.
Maklumlah, letak intisari kelihaian Tokko-kiu-kiam dalam hal mengincar titik kelemahan silat musuh, di situ ada
lubang segera dimasuki dan sekaligus mengalahkan lawan. Tapi kini dalam keadaan gelap gulita, tampang
musuh saja tidak kelihatan, apalagi gerak serangannya, lebih-lebih mengenai titik kelemahannya, maka Tokkokiu-
kiam menjadi tiada gunanya dalam keadaan demikian.
Untung Lenghou Tiong dapat menyadari keadaan itu dengan cepat, begitu pedang bergerak segera ia
mengegos pula ke samping. Benar juga, segera terdengar suara “krak” yang keras, menyusul terdengar suara
benturan dan jeritan. Dapat diduga senjata penyerang itu lebih dulu menusuk dinding, senjata patah dan
menancap di tubuh sendiri, lalu jatuh tersungkur.
Untuk sejenak Lenghou Tiong tertegun, ia menduga orang itu tentu sudah mati karena tiada mengeluarkan
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
suara lagi. Pikirnya, “Dalam keadaan gelap gulita, betapa pun tinggi ilmu silatku juga tiada bedanya seperti
jago silat kelas kambing. Terpaksa aku harus bersabar untuk menunggu kesempatan bergabung dengan Inging.”
Sementara itu, suara sambaran senjata dan teriakan-teriakan sudah mulai banyak berkurang, tentunya dalam
waktu singkat itu telah jatuh korban yang tidak sedikit. Ia coba putar pedang di depan untuk menjaga diri
kalau-kalau mendadak diserang orang. Dalam pada itu suara kecapi tadi kedengaran timbul lagi lalu lenyap
pula tanpa irama, kembali Lenghou Tiong merasa khawatir, jangan-jangan Ing-ing terluka atau pemetik kecapi
itu bukan si nona?
Selang agak lama kemudian suara teriakan dan bentakan mulai mereda, hanya di atas lantai tidak sedikit orang
yang merintih-rintih dan mencaci maki, terkadang juga masih ada suara benturan senjata dan suara bentakan,
semuanya timbul dari tempat yang mepet dinding. Agaknya banyak pula yang berdiri mepet dinding sehingga
dapat menyelamatkan diri, tentu orang-orang itu termasuk yang berilmu silat tinggi dan berotak cerdik.
“Ing-ing, di mana kau?” seru Lenghou Tiong.
Terdengar kecapi berbunyi di depan sana seperti memberi jawaban. Tanpa pikir Lenghou Tiong lantas
melompat ke sana, ketika kaki kiri menyentuh tanah terasa menginjak sesuatu yang lunak, nyata tubuh
seorang telah diinjaknya. Kontan angin tajam menyambar, senjata seorang telah menyerangnya.
Syukur tenaga dalam Lenghou Tiong sangat tinggi, meski tak tampak gaya serangan lawan, tapi dapat
diketahui tepat pada waktunya sehingga dia keburu melompat kembali ke tempat semula. Pikirnya, “Di atas
lantai penuh berbaring orang, ada yang sudah mati dan ada yang terluka parah, sukar untuk dilintasi begitu
saja.”
Terdengar suara angin menyambar kian-kemari, rupanya orang-orang yang berdiri mepet dinding juga sedang
memutar senjatanya untuk menjaga diri, dalam sekejap itu kembali ada beberapa orang menggeletak pula mati
atau terluka.
Tiba-tiba terdengar suara seorang tua berseru, “Wahai kawan-kawan, dengarkan dulu kata-kataku! Kita
terjebak oleh tipu muslihat Gak Put-kun, menghadapi bahaya ini kita harus bersatu untuk mencari selamat,
tidak boleh memutar senjata dan saling bunuh sendiri!”
Serentak beberapa orang menanggapi, “Benar! Benar!”
Dari suara-suara itu Lenghou Tiong dapat mendengar orang-orang itu berdiri mepet dinding semua. Rupanya
mereka bisa berpikir dengan tenang sehingga tidak menyerang secara ngawur lagi.
“Aku adalah Giok-ciong-cu dari Thay-san-pay,” demikian suara orang tua tadi berseru pula. “Sekarang diharap
kawan-kawan simpan kembali senjata masing-masing, sekalipun tertubruk orang dalam kegelapan juga jangan
main menyerang. Apakah kawan-kawan dapat memenuhi permintaanku ini?”
Serentak orang banyak menjawab, “Ya, dapat! Memang begitulah seharusnya!”
Lalu tak terdengar lagi suara bergeraknya senjata, menyusul terdengar suara senjata masing-masing
dimasukkan ke sarungnya. Sejenak kemudian keadaan menjadi sunyi.
“Sekarang hendaklah kawan-kawan bersumpah bahwa kita takkan saling mencelakai di dalam gua ini, siapa
yang melanggar sumpah tentu akan terkubur di sini,” seru Giok-ciong-cu pula. “Sebagai pelopor, aku Giokciong-
cu dari Thay-san-pay mendahului bersumpah demikian.”
Segera orang-orang lain ikut bersumpah seperti Giok-ciong-cu. Pikir mereka, “Giok-ciong-cu ini sungguh pintar.
Kalau kita bersatu padu mungkin masih ada harapan buat lolos dari sini, kalau tidak, tentu semuanya akan
mati konyol di sini.”
Begitulah kemudian Giok-ciong-cu berseru pula, “Bagus dan terima kasih, kawan! Sekarang silakan
memberitahukan nama masing-masing.”
“Aku si anu dari Heng-san-pay!” demikian seorang mendahului berteriak.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
“Cayhe si itu dari Thay-san-pay!”
“Dan aku si ini dari Ko-san-pay!” begitulah masing-masing sama menyebut namanya sendiri-sendiri, ternyata
semuanya adalah tokoh-tokoh terkemuka dari ketiga aliran besar itu.
Sesudah semua orang memperkenalkan diri, paling akhir Lenghou Tiong juga berseru, “Cayhe Lenghou Tiong
dari Hing-san-pay!”
“Hah, kiranya ketua Hing-san-pay Lenghou-tayhiap juga berada di sini, sungguh baik sekali!” seru para kesatria
itu dengan nada gembira dan terhibur.
Dalam kegelapan Lenghou Tiong hanya menyengir saja, pikirnya, “Aku sendiri ikut konyol, apanya yang baik
sekali?”
Tapi ia pun paham bahwa para kesatria itu sangat kagum kepada ilmu silatnya yang tinggi, dengan ikut
sertanya dia terkurung di situ akan berarti harapan untuk lolos menjadi lebih banyak.
Tiba-tiba Giok-ciong-cu bertanya, “Mohon tanya Lenghou-ciangbun, mengapa Hing-san-pay kalian hanya
engkau sendiri yang datang ke sini?”
Rupanya ia menyangsikan Lenghou Tiong akan berbuat apa-apa yang merugikan mereka mengingat Lenghou
Tiong berasal dari Hoa-san-pay dan bekas murid kesayangan Gak Put-kun. Apalagi ratusan orang yang
terkurung di situ tiada anak murid Hoa-san-pay dan Hing-san-pay kecuali Lenghou Tiong seorang, hal ini mau
tak mau menimbulkan curiga.
“Cayhe ada seorang teman...” sampai di sini ia berseru pula, “Ing....” tapi baru satu kata saja segera teringat
olehnya bahwa Ing-ing adalah putri kesayangan Yim-kaucu dari Mo-kau yang selama ini dimusuhi oleh
golongan lain yang menamakan dirinya cing-pay, maka sebaiknya sekarang jangan menimbulkan gara-gara
lagi dalam persoalan ini.
“Adakah di antara kawan-kawan membawa geretan api? Harap nyalakan dulu obor!” seru Giok-ciong-cu.
“Betul, betul!” sorak orang banyak dengan gembira. “Ya, ya, mengapa kita menjadi pikun dan tidak pikirkan hal
ini sejak tadi? Hayo lekas nyalakan obor!”
Padahal dalam kekacauan tadi yang terpikir oleh mereka hanya menyelamatkan diri sendiri, siapa yang punya
kesempatan untuk menyalakan obor? Sebab begitu meleng tentu akan terbunuh oleh orang lain.
Segera terdengar suara “tek-tik-tek-tik” beberapa kali, ada orang sedang membuat api dengan batu, begitu api
menyala, semua orang lantas bersorak gembira.
Sekilas pandang Lenghou Tiong melihat dinding gua itu penuh berdiri orang, semuanya berlepotan darah, ada
sebagian masih menghunus senjata, rupanya orang-orang ini lebih suka berhati-hati daripada ambil risiko
dibunuh orang, biarpun semua orang sudah bersumpah, tapi lebih baik menjaga segala kemungkinan.
Lenghou Tiong melangkah ke dinding sebelah depan sana dengan maksud hendak mencari Ing-ing. Pada saat
itulah di tengah orang banyak itu mendadak ada orang membentak, “Mulai!”
Berbareng itu beberapa orang berpedang lantas menyerbu dari lorong gua sana.
“Hai, siapa itu?” teriak para kesatria sambil melolos senjata untuk melawan. Hanya beberapa gebrak saja
keadaan kembali gelap gulita, api yang menyala tadi telah padam lagi.
Dengan suatu lompatan kilat Lenghou Tiong melayang ke dinding di depan sana, terasa dari sebelah kanan ada
senjata menyerang tiba. Dalam kegelapan sukar untuk menangkis, terpaksa ia mendekam ke bawah. “Trang”,
golok membacok di dinding.
Ia pikir penyerang itu belum tentu akan menyerangnya dengan sungguh-sungguh, tapi mungkin hanya untuk
menjaga diri saja karena dia sendiri mendadak melompat tiba. Maka untuk sejenak ia mendekam di bawah
tanpa bergerak. Setelah membacok beberapa kali tidak kena sasarannya, lalu orang itu pun berhenti.
Dimuat di serialsilat.tungning.com di upload oleh Nra dan dilanjutkan Tungning sendiri
PDF by Kang Zusi
Tiba-tiba terdengar pula seorang berseru memberi aba-aba, “Mampuskan semua kawanan anjing itu, satu pun
jangan diberi hidup!”
Menyusul belasan suara mengiakan.

Related Posts:

0 Response to "Bab 130. Gi-lim Membeberkan Isi Hatinya"

Posting Komentar